Wednesday, February 7, 2018

Air Mata Rindu tuk Pemilik Surgaku



Matahari telah menyibakkan selimut awan malamnya. Fajarpun telah menampakkan dirinya. Kejernihan cahaya matanya menembus awan-awan kelam yang mulai beterbangan. Hari sudah mulai pagi di ufuk timur. Sang surya tengah mengusap-ngusap matanya untuk memancarkan cahayanya menghiasi mega-mega. Namun, ku masih malas untuk menyibakkan selimut kusamku. Di hari libur seperti ini, sangatlah menyiksaku. Ya... mungkin bagi orang lain, hari libur sangatlah diidam-idamkan, namun beda denganku. Hari libur yang kosong sangatlah mencekam bagiku.

Telah beberapa bulan ini bahkan hampir satu semester penuh aku tak pulang ke kampung halamanku. Ku sangat merindukan semua penghuni kampung halamanku nan asri itu. Walaupun orang bilang kampung halamanku sangatlah ketinggalan akan perkembangan teknologi. Aku bangga dengan kampungku, aku cinta dengan kampungku, dan aku selalu merindukannya disaat-saat aku seperti ini.
Kumulai menyadari akan berharganya kampung asri seperti itu. Ku mulai membandingkannya dengan perkotaan yang sangat menyeramkan bagiku. Yah... meski kebanyakan orang suka hidup pada perkotaan. Namun, setelah kubuktikan sendiri, semua perkataan itu tidaklah benar. Setelah sekian lama merantau menggali ilmu di kota orang, banyak hal yang aku dapatkan. Memang banyak sekali kesenangan-kesenangan yang aku dapatkan, namun tak terlepas dari itu banyak juga  kekurangan-kekurangan yang selalu menyertai kesenangan itu. 

Aku mulai penat dengan sikap individualis, yang sangatlah beda jauh dengan yang ada di kampungku dulu. Pembangunan yang terjadi di setiap spasi titik wilayahnya. Transportasi yang memenuhi jalan selalu merayap setiap detiknya. Banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang kokoh dengan sombongnya, tak merasa bersalah telah menyita luas wilayah yang tak sedikit menyiksa walaupun demi kesenangan yang fana.
“Aku merindumu ibu... di kampung halaman tercintaku”. Ku mulai meneteskan butiran air mata berhargaku. “Aku rindu akan kasih sayang nan tulusmu”.
Ku bergegas terbangun dari kasur yang sudah tak empuk lagi. Ku ingin menggoreskan kerinduan hatiku pada secarik kertasku. Ku ingin merasakan perhatian-perhatianmu yang tak pernah absen mengurusiku. Entahlah,... aku disini... sedangkan ibu, ibu nan jauh di kampung halamanku.
“Ibu... kumerindumu disaat kau memarahiku atas keteledoranku, kumerindumu disaat kau membangunkanku dari kemoloran tidurku, kumerindumu disaat kau selalu memerintahku, kumerindumu disaat kau mengomeli pekerjaanku yang tak kunjung beres.”

            Kuteringat air jernih dari pelupuk mata ibu yang mulai berjatuhan disaat ku berpamit untuk mengorek ilmu-ilmu di kota orang. Kuteringat petuah-petuah yang pada malam itu, suatu malam sebelum ku meninggalkan kampung halaman tercintaku, ibu membuka pintu kayu kamarku. Beliau memilih tempat duduk di salah satu sisi balai tidurku. Hatiku mulai nggak karuan dengan kedatangan ibu memasuki kamarku. Ku menyembunyikan bekas linangan air mataku yang sembari tadi menemaniku mengemas barang-barang yang perlu aku bawa untuk esok pagi.
“Nduk.... kalau di sana, jaga kesehatan... makan yang teratur.... jangan keluar sendirian... kalau butuh apa-apa minta temenmu menemanimu... di sana kota besar nduk... banyak kejahatan, kamu harus hati-hati nduk.. jaga diri baik-baik”.
“Nggeh bu.. anak ibu ini pasti akan hati-hati hidup di kota orang bu... ibu jangan lupa selalu mendoakan anakmu ini ya bu..”. Ku tak sanggup membendung air mataku yang tengah mengalir membentuk parit-parit kecil di pipiku. Ku tak mampu menyembunyikan kesedihan hatiku yang akan berpisah dengan ibu, bapak, serta adik tercintaku.
Nampaknya, ibu juga tak tahan lagi menahan air matanya yang ingin terbebas dari kantong pelupuk mata indahnya. Mata sayu yang tulus mengasihiku, yang bekerja keras mendidikku, yang ikhlas membesarkanku, yang rela mempertaruhkan nyawa demi menghadirkanku ke dunia ini.
Sambil mengelus kerudung lusuhku, ibu memelukku untuk pertama kalinya semenjak aku menginjak dewasa. Pernah kubayangkan ketika melihat temanku yang sudah dewasa namun tetap dipeluk sang ibu. Ku membayangkan, kapan aku bisa dipeluk seperti mereka yang selalu mendapat kehangatan itu. Aku iri pada mereka. Namun, malam itu aku merasakan seperti apa yang dulu pernah aku bayangkan. Entah aku sedih ataupun bahagia. Bahagia tengah dipeluk ibu yang dulu sangatlah aku inginkan serta sedih karena malam itu adalah malam terakhir aku satu atap dengan mereka keluarga tercintaku.
Di kota perantauan ini, ku menyadari sesuatu yang dulu tak pernah kupikirkan sama sekali. Ku menyadari kedisiplinan yang telah ibu terapkan waktu itu. Ibu yang selalu menyuruh inilah itulah yang memancing kejengkelanku. Yang dulu aku pernah benci semua perintah-printah ibu.
“Ibu... maafkan anakmu yang tak tau diri ini ibu... aku sangat merindumu.. rindu omelan-omelanmu.. rindu akan semua perintah-perintahmu”.
Kini ku merasakan kesendirianku di dalam kamar kotak kecil yang pengap. Jauh akan kasih sayangmu. Jauh akan perhatian-perhatian langsungmu. Ku sangat merindu memori-memori itu. Memori yang tak akan pernah aku format dari ingatanku. Ku menyayangimu ibu.
***Tamat***