Matahari telah menyibakkan selimut
awan malamnya. Fajarpun telah menampakkan dirinya. Kejernihan cahaya matanya
menembus awan-awan kelam yang mulai beterbangan. Hari sudah mulai pagi di ufuk
timur. Sang surya tengah mengusap-ngusap matanya untuk memancarkan cahayanya
menghiasi mega-mega. Namun, ku masih malas untuk menyibakkan selimut kusamku.
Di hari libur seperti ini, sangatlah menyiksaku. Ya... mungkin bagi orang lain,
hari libur sangatlah diidam-idamkan, namun beda denganku. Hari libur yang
kosong sangatlah mencekam bagiku.
Telah beberapa bulan ini bahkan
hampir satu semester penuh aku tak pulang ke kampung halamanku. Ku sangat
merindukan semua penghuni kampung halamanku nan asri itu. Walaupun orang bilang
kampung halamanku sangatlah ketinggalan akan perkembangan teknologi. Aku bangga
dengan kampungku, aku cinta dengan kampungku, dan aku selalu merindukannya
disaat-saat aku seperti ini.
Kumulai menyadari akan berharganya
kampung asri seperti itu. Ku mulai membandingkannya dengan perkotaan yang
sangat menyeramkan bagiku. Yah... meski kebanyakan orang suka hidup pada
perkotaan. Namun, setelah kubuktikan sendiri, semua perkataan itu tidaklah
benar. Setelah sekian lama merantau menggali ilmu di kota orang, banyak hal yang
aku dapatkan. Memang banyak sekali kesenangan-kesenangan yang aku dapatkan,
namun tak terlepas dari itu banyak juga kekurangan-kekurangan
yang selalu menyertai kesenangan itu.
Aku mulai penat dengan sikap individualis,
yang sangatlah beda jauh dengan yang ada di kampungku dulu. Pembangunan yang
terjadi di setiap spasi titik wilayahnya. Transportasi yang memenuhi jalan
selalu merayap setiap detiknya. Banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang kokoh
dengan sombongnya, tak merasa bersalah telah menyita luas wilayah yang tak
sedikit menyiksa walaupun demi kesenangan yang fana.
“Aku merindumu ibu... di kampung
halaman tercintaku”. Ku mulai meneteskan butiran air mata berhargaku. “Aku
rindu akan kasih sayang nan tulusmu”.
Ku bergegas terbangun dari kasur yang
sudah tak empuk lagi. Ku ingin menggoreskan kerinduan hatiku pada secarik
kertasku. Ku ingin merasakan perhatian-perhatianmu yang tak pernah absen
mengurusiku. Entahlah,... aku disini... sedangkan ibu, ibu nan jauh di kampung
halamanku.
“Ibu... kumerindumu disaat kau
memarahiku atas keteledoranku, kumerindumu disaat kau membangunkanku dari
kemoloran tidurku, kumerindumu disaat kau selalu memerintahku, kumerindumu
disaat kau mengomeli pekerjaanku yang tak kunjung beres.”
Kuteringat
air jernih dari pelupuk mata ibu yang mulai berjatuhan disaat ku berpamit untuk
mengorek ilmu-ilmu di kota orang. Kuteringat petuah-petuah yang pada malam itu,
suatu malam sebelum ku meninggalkan kampung halaman tercintaku, ibu membuka
pintu kayu kamarku. Beliau memilih tempat duduk di salah satu sisi balai
tidurku. Hatiku mulai nggak karuan dengan kedatangan ibu memasuki kamarku. Ku
menyembunyikan bekas linangan air mataku yang sembari tadi menemaniku mengemas
barang-barang yang perlu aku bawa untuk esok pagi.
“Nduk.... kalau di sana, jaga
kesehatan... makan yang teratur.... jangan keluar sendirian... kalau butuh
apa-apa minta temenmu menemanimu... di sana kota besar nduk... banyak
kejahatan, kamu harus hati-hati nduk.. jaga diri baik-baik”.
“Nggeh bu.. anak ibu ini pasti akan
hati-hati hidup di kota orang bu... ibu jangan lupa selalu mendoakan anakmu ini
ya bu..”. Ku tak sanggup membendung air mataku yang tengah mengalir membentuk
parit-parit kecil di pipiku. Ku tak mampu menyembunyikan kesedihan hatiku yang
akan berpisah dengan ibu, bapak, serta adik tercintaku.
Nampaknya, ibu juga tak tahan lagi
menahan air matanya yang ingin terbebas dari kantong pelupuk mata indahnya.
Mata sayu yang tulus mengasihiku, yang bekerja keras mendidikku, yang ikhlas
membesarkanku, yang rela mempertaruhkan nyawa demi menghadirkanku ke dunia ini.
Sambil mengelus kerudung lusuhku, ibu
memelukku untuk pertama kalinya semenjak aku menginjak dewasa. Pernah
kubayangkan ketika melihat temanku yang sudah dewasa namun tetap dipeluk sang
ibu. Ku membayangkan, kapan aku bisa dipeluk seperti mereka yang selalu
mendapat kehangatan itu. Aku iri pada mereka. Namun, malam itu aku merasakan
seperti apa yang dulu pernah aku bayangkan. Entah aku sedih ataupun bahagia. Bahagia
tengah dipeluk ibu yang dulu sangatlah aku inginkan serta sedih karena malam
itu adalah malam terakhir aku satu atap dengan mereka keluarga tercintaku.
Di kota perantauan ini, ku menyadari
sesuatu yang dulu tak pernah kupikirkan sama sekali. Ku menyadari kedisiplinan
yang telah ibu terapkan waktu itu. Ibu yang selalu menyuruh inilah itulah yang
memancing kejengkelanku. Yang dulu aku pernah benci semua perintah-printah ibu.
“Ibu... maafkan anakmu yang tak tau
diri ini ibu... aku sangat merindumu.. rindu omelan-omelanmu.. rindu akan semua
perintah-perintahmu”.
Kini ku merasakan kesendirianku di
dalam kamar kotak kecil yang pengap. Jauh akan kasih sayangmu. Jauh akan
perhatian-perhatian langsungmu. Ku sangat merindu memori-memori itu. Memori
yang tak akan pernah aku format dari ingatanku. Ku menyayangimu ibu.
***Tamat***