Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono
Prof.
Dr.
Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta,
20 Maret
1940; umur 76
tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia
terkemuka. Ia dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang
menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer,
baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.
Masa mudanya dihabiskan di
Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia
sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya
menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa
Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya)
Universitas Indonesia, namun kini telah
pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar.
Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison",
"Basis", dan "Kalam". Sapardi Djoko Damono banyak menerima
penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write
Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003.
Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan
Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra
dan seorang putri. Ini adalah beberapa kumpulan puisi karya Supardi Djoko
Damono:
Ø AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Ø HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan
bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang
ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan
bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Ø AKULAH SI TELAGA
berlayar di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;sesampai di
seberang sana, tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku yang menjaganya
Ø SAJAK KECIL TENTANG CINTA
Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
MencintaiMu harus menjadi aku”
Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
MencintaiMu harus menjadi aku”
Ø BERJALAN KE BARAT DI WAKTU
PAGI HARI
Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Ø PADA SUATU HARI NANTI
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Ø SEPERTI
KABUT
aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti
aku akan menyayangimu
seperti kabut
yang raib di cahaya matahari
:
aku akan menjelma awan
hati-hati mendaki bukit
agar bisa menghujanimu
:
pada suatu hari baik nanti
Ø METAMORFOSIS
yang
sedang menanggalkan kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu
di depan cermin dan membuatmu bertanya
tubuh
siapakah gerangan yang kukenakan ini
ada yang
sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang
hari lahirmu
mereka-reka
sebab-sebab kematianmu
ada yang
sedang diam-diam berubah menjadi dirimu
Ø BUNGA
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia.
Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia.
Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
Ø KOLAM DI PEKARANGAN
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga ...
tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya...
Ia ingin sekali bisa merindukannya...
Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh ..
hujan terbawa angin memutarnya perlahan..
Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga ...
tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya...
Ia ingin sekali bisa merindukannya...
Tak akan dilupakannya hari itu menjelang subuh ..
hujan terbawa angin memutarnya perlahan..
Ø YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah
waktu. Kita abadi:
memungut detik demi
detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang
fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
Ø DI RESTORAN
Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput --
kau entah memesan apa.
Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras --
kau entah memesan apa.
Tapi kita berduasaja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput --
kau entah memesan apa.
Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras --
kau entah memesan apa.
Tapi kita berduasaja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
Ø SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
Ø DALAM DIRIKU
dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya”
dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya”
Ø KUHENTIKAN HUJAN
kuhentikan hujan ,kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
ada yang berdenyut
dalam diriku
menembus tanah basah
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari
tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga
kuhentikan hujan ,kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
ada yang berdenyut
dalam diriku
menembus tanah basah
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari
tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga
Ø MATA PISAU
mata
pisau itu tak berkejap menatapmu
kau
yang baru saja mengasahnya
berfikir:
ia tajam untuk mengiris apel
yang
tersedia di atas meja
sehabis
makan malam;
ia
berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Ø TAJAM
HUJANMU
tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu
Ø SUDAH
KUTEBAK
Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar
umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantuk di tepi sungai
itu.Sendirian