KAJIAN
STILISTIKA: GAYA BAHASA DALAM SAJAK CHAIRIL ANWAR
“CATATAN
TAHUN 1946”
Nafisatun
Nurroh
Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
HP:
085713327141, Pos_el: nafisatunnurroh@gmail.com
Abstrak: Artikel
berjudul Gaya Bahasa Sastra Dalam Sajak Chairil Anwar “Catatan Tahun 1946”
merupakan upaya untuk menganalisis gaya bahasa yang digunakan dalam sajak
tersebut. Penelitian karya sastra pada umumnya menggunakan struktur narasi,
sedangkan dalam penelitian dari segi gaya bahasa masih jarang. Oleh karena itu,
perlu diadakan penelitian gaya bahasa. Sebagian besar orang-orang telah
mengetahui apa arti sebenarnya gaya
bahasa. Ada beberapa pengertian mengenai gaya bahasa yang berbeda-beda
sesuai dengan batasan-batasannya. Dalam ilmu sastra gaya bahasa merupakan
penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu. Efek ini
adalah efek estetik yang turut menjadikan karya sastra bernilai seni. Namun,
nilai karya sastra tidak hanya disebabkan oleh gaya bahasa saja, melainkan
disebabkan juga oleh gaya bercerita maupun penyususnan alur pada karya sastra
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendorong penelitian sastra dalam
aspek gaya bahasa dan dapat memberikan pengertian yang lebih benar mengenai
gaya bahasa.
Kata-Kata
Kunci: Gaya
Bahasa,
Sastra,
Estetik
Abstract: The article titled
Style Language Literature In Anwar poem "Notes Year 1946" is an
attempt to analyze the style of language used in these poems. Research
literature generally uses the narrative structure, whereas in the study in
terms of style language is still rare. Therefore, there should be research
style. Most people already know what a real sense of style. There is some
understanding of the style that varies in accordance with the limitations. In
the study of literary style is the use of language specifically to get a
certain effect. This effect is aesthetic effects that also make valuable
literary works of art. However, the value of literature is not only due to the
style alone, but caused also by the storytelling style as well as arranging a
groove on literary works. The purpose of this study is to encourage the study
of literature in the language and style aspects can give a more correct
understanding of the style.
Keywords: Style Language,
Literature, Aesthetic
PENDAHULUAN
Pada era sekarang, banyak sekali peneliti
sastra yang penelitiannya hanya
ditujukan pada penerangan struktur penceritaan karya sastra, misalnya tema,
alur, latar,penokohan dan lainnya.
Peneliti yang meneliti gaya bahasa masih sedikit meskipun penelitian tentang
gaya bahasa ini juga sangatlah penting. Memang ada beberapa buku yang telah
membicarakan gaya bahasa, tetapi bukan semata-mata meneliti karya sastra dari
aspek gaya bahasa secara khusus, melainkan masih bersifat umum.
Gaya bahasa merupakan penggunaan
bahasa secara khusus untuk mendapatkan nilai seni. Hal ini seperti dikemukakan
juga oleh Dick Hartoko dan Rahmanto (1986:137) bahwa gaya bahasa adalah cara
yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi). Slamet Muljana
juga mengatakan bahwa gaya bahasa itu
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan
sengaja atau tidak menimbulkan suatu perasaan yang tertentu dalam hati pembaca.
Gaya bahasa itu selalu subjektif dan tidak akan objektif. Gaya bahasa merupakan
cara yang dipilih oleh seorang penulis untuk mengungkapkan apa yang dikehendaki
ke dalam tulisannya.
Menurut
Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1980:138) bahwa dalam stilistika, ilmu yang meneliti
gaya bahasa, dibedakan antara stilistika deskriptif denhan stilistika genetis.
Stilistika deskriptif mendekati gaya bahasa sebagai keseluruhan ekspresi
kejiwaan yang terkandung dalam suatu bahasa dan meneliti nilai-nilai
ekspresivitas khusus yang terkandung dalam suatu bahasa (langue), yaitu secara morfologis, sintaksis, dan semantik. Adapun
stilistika genetis adalah stilistika individual yang memandang gaya bahasa
sebagai suatu ungkapan yang khas pribadi.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk menyumbang pandangan bagi pengembangan ilmu sastra,
khususnya dalam lapangan stilistika sastra. Mendorong para peneliti sastra agar
penelitian tidak hanya menggunakan struktur narasi melainkan ditekankan pasa
aspek gaya bahasa juga untuk memberikan pengertian gayabahasa lebih mendalam
dan dapat memberikan makna yang lebih menyeluruh mengenai karya sastra yang
diteliti.
Sebelumnya
sajak Chairil Anwar ini sudah pernah diteliti oleh beberapa orang, diantaranya
yaitu Mey.Dalam penelitiannya hanay membahas unsure-unsur yang terkandung
didalam sajak “Catatan Tahun 1946”.Peneliti selanjutnya yaitu Yuliakori, dalam
penelitiannya terhadap puisi “Catatan Tahun 1964” juga hanya meneliti puisi
tersebut dalam aspek pemaknaan. Hal tersebut berbeda dengan penelitian saat ini
yaitu analisis yang khusus membahas tentang gaya bahasa yang terdapat dalam
puisi tersebut.
TEORI
Gaya bahasa merupakan salah satu
unsur struktur karya sastra, maka hubungannya dengan unsur-unsur lainnya sangat
koheren.Dalam struktur itu tiap unsur hanya mempunyai makna dalam hubungannya
dengan unsur-unsur lainnya dan keseluruhan (Hawkes, 1978:17-18).Sebagaimana
dikemukakan oleh Preminger dkk (1997:981) penelitian semiotik sastra adalah
usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai system tanda-tanda dan menentukan
konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Peneliti
menyendirikan satuan-satuan berfungsi dan konvensi-konvensi sastra yang
berlaku.Oleh karena bahasa merupakan unsur struktur karya sastra sebagai sistem
tanda bermakna, maka satuan-satuan berfungsi diantaranya bunyi, kata, dan
kalimat yang bersifat khusus, dalam arti sebagai sarana kebahasaan untuk
mendapatkan efek tertentu ataupun efek estetisnya.
METODE
PENELITIAN
Karya sastra merupakan sebuah
struktur katandaan yang bermakna.Oleh karena itu, teori dan metode penelitian
yang sesuai adalah strukturalisme semiotik.Dalam artian bahwa metode yang
digunakan dalam penelitian puisi “Catatan Tahun 1946” ini adalah dengan
dianalisis berdasarkan satuan-satuan tanda yang bermakna dengan tidak melupakan
saling hubungan dan fungsi structural tiap-tiap satuan tanda tersebut.
Sebelum
dianalisis, karya sastra dipahami maknanya dengan pembacaan semiotic.Pembacaan
semiotik itu berupa pembacaan heuristik dan hermeneutik seperti yang dikemukakan
Reffatere (1978:5-6).Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem
semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa
(Indonesia).Sedangkan pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan
memberikan tafsiran.Bacaan ini berdasarkan system tanda semiotik tingkat kedua,
yang merupakan pembacaan berdasarkan konvensi sastra.Dengan demikian, karya
sastra dapat dipahami tidak saja arti kebahasaanya, tetapi juga makna
kesastraannya.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Para pembaca dan para penulis
yang unggul benar-benar memanfaatkan gaya bahasa untuk menjelaskan
gagasan-gagasan mereka. Gaya bahasa menurut mereka adalah bahasa indah yang
dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta
memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan dengan benda atau hal
lain yang lebih umum.
Pendek
kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi
tertentu (Dale, 1971:220). Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara
imajinatif,bukan dalam pengertian yang benar-benar secara kalamiah saja
(Warriner, 1977:602). Gaya bahasa merupakan bentu retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis
untuk menyakinkan atau mempengaruhu penyimak atau pembaca.
Berdasarkan pilihan kata, gaya
bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi
tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari
lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan
ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu.
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa , gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang mengungkapkan jiwa dan kepribadia penulis (pemakai bahasa). Sebuah
gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut yaitu, kejujuran,
sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1985:113)
Dalam
bahasa standart (bahasa baku) dapatlah
dibedakan, gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa
percakapan. Gaya bahasa dalam tingkatan bahasa nonstandard tidak akan dibahas
disini. Perbedaan gaya bahasa resmi dan tak resmi sebenarnya bersifat relative.
Antara kedua ekstrim ini masih terdapat bermacam-macam perbedaan warna yang
berturut-turut akan masih mengandung unsur-unsur dari gaya sebelumnya, tetapi
sementara itu sudah mengandung juga unsur-unsur dari gaya tingkat berikutnya.
Dengan demikian perbedaan unsur-unsur ditengah-tengah sukar dibatasi.
Sebelum
melakukan kritik pada gaya bahasa yang terdapat dalam sajak Chairil Anwar
“Catatan Tahun 1946” perlu menganalisis terlebih dahulu dengan menggunakan pembacaan semiotik.
Pembacaan semiotik itu berupa pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik.
PEMBACAAN
HEURISTIK
Dalam pembacaan ini, karya sastra
dibaca secara linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik
tingkat pertama.Untuk menjelaskan arti bahasa bila perlu susunan kalimat
dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tanbahan kata sambung
(dalam kurung), kata-kata dikembalikan dalam bentuk morfologinya yang
normatif.Selain itu juga bisa dengan member sisipan-sisipan kata dan kata
sininimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas, seperti contoh
dalam pembacaan sajak “Catatan Tahun 1946” sebagai berikut.
Ada
tanganku, sekali (waktu nanti) akan jemu terkulai, mainan cahaya di air (akan)
hilang bentuk(nya) dalam kabut, dan suara (orang) yang kucintai akan berhenti
membelai (dirku). (oleh karena itu), kupahat batu nisan (untuk diriku) sendiri
dan kupagut (=kupasang diatas kuburanku).
Kita
(pada hakikatnya) adalah anjing (yang) diburu, hanya (dapat) melihat sebagian
dari sandiwara sekarang. (oleh karena itu, kita) tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kuburan atau di
ranjang. (Hal ini disebabkan oleh) lahirnya seorang besar dan tenggelam (nya
orang) berates ribu. (olekarena itu), keduanya harus dicatat (diperhatikan),
keduanya (hendaknya) (men) dapat tempat (dalam ingatan kita).
Kita
nanti tiada sawan (takut) lagi diburu (dikejar-kejar) jika bedil sudah disimpan,
(maka yang tinggal) Cuma kenangan berdebu. (kemudian), kita memburu arti atau
(kalau tidak begitu) (nasib kita) diserahkan kepada anak yang sempat lahir.
Jadi, kita jangan mengerdip, tetap (lah waspada) dan asah (lah) penamu.
Menulislah karena kertas gersang (kosong) dan tenggorokan (yang) kering mau
basah sedikit!.
PEMBACAAN
HERMENEUTIK
Setelah melakukan pembacaan yaitu
dalam tingkatan pertama, secara linier sesuai dengan struktur bahasa, pembacaan
selanjutnya adalah dengan menggunakan pembacaan tingkat kedua atau biasa
disebut dengan pembacaan hermeneutik.Dengan pembacaan hermeneutik ini baru
sapat memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak itu
belum tertangkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan hermeneutik
sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua, seperti
contoh pada sajak “Catatan Tahun 1946” ini.
Judul
sajak “ Catatan tahun 1946” sebagai tanda menunjukkan waktu pasca Perang Dunia
II atau waktu perang kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda, pada waktu
orang Indonesia hidup penuh ketakutan. “ada tanganku”, berarti aku masih punya
kekuatan (pada waktu sekarang, masih muda, masih hidup), tetapi pada suatu
ketika nanti aku akan kehilangan kekuatan (karena tua ataupun mati). Karena
ketuaan itu, pendar-pendar air yang kena cahaya (mainan cahaya) akan tidak
terlihat lagi karena mata telah terpudar (hilang bentuk dalam kabut).
Begitu
juga, orang-orang yang kucintai akan tidak dapat mencintai dan menyayangi aku
lagi (karena aku telah mati). Oleh karena itu, aku membuat karya yang hebat
atau monumental (pahat batu nisan sendiri) sebagai tanda aku pernah hidup
(kupagut). Dalam waktu perang ini, atau waktu sukar ini, kita selalu
terburu-buru dan terasa dihinakan (anjing diburu) dan tidak sempat melihat
akhir kejadian atau akhir cerita yang terjadi.
Apakah nanti akan terjadi akhir
yang menyenangkan atau yang menyedihkan, bahagia atau terjadi ketragisan, kita
tidak akan mengetahuinya (tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di
ranjang). Hal ini disebabkan oleh seringkali terjadi bahwa muncul seorang
besar, yang hebat, sebaliknya kemunculannya membawa kematian orang beratus
ribu.
Misalnya, pada waktu Perang Dunia
II, muncul seorang tokoh hebat Adolf Hitler yang menyebabkan timbulnya Perang
Dunia II dan berates ribu orang mati terbunuh dalam perang itu. Kedua hal
tersebut harus dicatat, diingat, diperhatikan, dan hendaknya kita selalu
mengingat-ingat (keduanya dapat tempat) supaya kita selalu waspada.
Kemudian, kita nanti tidak akan
takut atau khawatir diburu-buru lagi (seperti anjing) jika perang sudah
berakhir (jika bedil sudah disimpan), yang tinggal hanya kenangan lama saja
(yang mengerikan). Kita (harus) berusaha dengan keras mencari makna hidup (memburu
arti) sebab kalau tidak demikian, nasib kita hanya akan tergantung kepada anak
yang sempat lahir (yang mungkin tidak mau peduli kepada nasib kita).
Oleh karena itu, jangan
bersantai-santai, hendaklah selalu waspada, bekerja terus (jangan mengerdip).Bekerjalah
dengan keras karena hidup ini perlu diisi dan orang pun harus hidup dengan
makan dan minum sebab kita selalu dalam kesukaran (tenggorokan kering sedikit
mau basah). Proses pemaknaan dengan pembacaan hermeneutic itu lebih lanjut akan
tampak dalam analisis gaya bahasa.
KANDUNGAN
GAYA BAHASA
Untuk
dapat mengungkap makna karya sastra secara keseluruhan, lebih dahulu harap
diterangkan gaya bahasa dalam wujud kalimat atau sintaksisnya, kemudian diikuti
analisis gaya kata, dan yang terakhir analisis gaya bunyi.
Sajak
memerlukan kepadatan dan ekspresivitas karena sajak itu hanya mengemukakan inti
masalah atau inti pengalaman.Oleh karena itu, terjadi pemadatan, hanya yang perlu-perlu
saja dinyatakan, maka hubungan kalimat-kalimatnya implisit, hanya tersirat
saja. Hal ini tampak dalam baris-baris atau kalimat-kalimat dalam bait pertama
(dan bait-bait lainnya).
Jadi,
gaya kalimat yang demikian disebut gaya implicit, seperti tampak dalam wujud
baris ke-3 dan ke-4 dalam bait pertama pada sajak “Catatan Tahun 1946”. Untuk
memperjelas dapat mengggunakan beberapa kata penghubung.Seperti contoh, dan
suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai. (oleh karena itu), kupahat batu
nisan sendiri dan kupagut.
Begitu
juga hubungan antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3 dan ke-4 dalam bait kedua
dan ketiga.Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
(karena) lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Selain itu, dalam ada
juga hubungan implicit antara baris ke-2 dan ke-3 bait ketiga, dapat dijelaskan
dengan sisipan ungkapan penghubung “karena itu”, atau “kemudian”, seperti
contoh berikut. Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu (karena itu
atau kemudian), kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir setempat.
Dalam
sajak ini tampak yang mendominasi adalah gaya bahasa kalimat untuk melebih
lebihkan suatu hal atau keadaan. Gaya ini dikenal sebagai sarana retorika hiperbola, seperti contoh ini, “kupahat
batu nisan sendiri dan kupagut”. (batu nisan “dipagut” ini melebih-lebihkan).
Di samping itu, ada gaya yang menyangatkan, tetapi dalam arti sangat
dikecilkan, gaya itu adalah sarana retorika litotes: “hanya melihat sebagian
dari sandiwara sekarang”
GAYA
BAHASA DALAM KATA
Untuk
menghidupakan lukisan dan memberikan gambaran yang jelas, dalam sajak ini
banyak dipergunakan bahasa kiasan.Bahasa kiasan ini menyatakan suatu hal secara
tidak langsung.Ekspresi secara tidak langsung ini merupakan konvensi sastra,
khususnya puisi seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1). Ucapan tidak
langsung itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal yaitu,
pemindahan atau penggantian arti, penyimpangan atau pemencongan arti, dan penciptaan arti.
Pemindahan
arti ini berupa penggunaan metafora dan metonimi.Istilah metafora ini
seringkali untuk menyebut arti kiasan pada umumnya meskipun metafora itu
sesungguhnya merupakan salah satu ragam bahasa kiasan. penyimpangan atau
pemencongan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan
arti disebabkan oleh penggunaan bentuk visual pembaitan, enjambement,
persajakan, persejajaran bentuk, dan bentuk visual lainnya.
Ungkapan
tak langsung dalam sajak ini yang sangat penting terutama bahasa kiasan
(penggantian arti: metafora, metonimi, dan ambiguitas. Demikian juga, untuk
menghidupkan lukisan dalam sajak ini dipergunakan ucapan tak langsung dengan
citraan. Seperti contoh dalam sajak “Catatan Tahun 1946” yaitu, “Ada tangan ku”
merupakan sinekdoki pars pro toto, ini
untuk mununjukkan pusat aktivitas manusia yang terpenting itu terletak di
tangan. Di sini tangan untuk mewakili keseluruhan manusia.
Untuk
memperjelas gambaran tua atau mati, diberi citra “jemu terkulai” dan “mainan
cahaya di air” “hilang bentuk”. “Suara yang dicintai” adalah sinekdoki pars pro toto untuk istri atau sanak
saudara yang dicintai dan disayangi. “Batu nisan” adalah metafora untuk karya
yang agung, “monumental” yang merupakan tanda bahwa orang pernah hadir di dunia
dan perlu diingat karena kebesarannya atau karyanya yang hebat. Dan masih
banyak contoh lain dalam sajak Chairil anwar tersebut.
GAYA
BAHASA DALAM BUNYI
Bunyi berfungsi untuk mendukung
atau memperkeras arti kata ataupun kalimat.Gaya bunyi untuk memperdalam makna
kata dan kalimat.Dalam sajak ini tampak seperti berikut.Keseluruhan sajak
menampakkan suasana “berat”, “muram”, atau “murung” dan gundah.Suasana itu
ditampilkan, disamping oleh karena itu kata-kata dan kalimatnya, juga oleh
bunyinya yang berat yang dominan, yaitu asonansi a dan kombinasi u sajak
akhir.Akan tetapi evektifitasnya ditunjang oleh variasi dan kombinasi bunyi
yang menyebabkan berirama dan liris.
Telah
tertera dalam sajak yaitu, kombinasi bunyi a-u yang kuat tampak pada baris
ke-1,2,3. Ada tanganku…akanjemu….Main cahaya…hilang bentuk dalam kabut…Kupahat
batu nisan…dan kupagut. Sajak akhir baris ke-3 dan ke-4: kabut_kupagut, bunyi u memberikan suasana sedih dikombinasi bunyi t
yang tidak merdu memperkeras suasana yang tidak menyenangkan.
Asonansi
a yang dominan dikombinasi bunyi u pada keempat barisnya memperkuat situasi dan
suasana muram.Seperti sajak berikut ini, Kita-anjing diburu-hanya
melihat…sandiwara sekarang…berpeluk di kubur atau di ranjang.Lahir seorang
besar dan tenggelam beratus ribu.Kedua harus…dapat tempat. Kombinasi bunyi
sengau n,m, dan ng menyebabkan
berirama dan membuat liris. Dalam sajak tersebut juga masih banyak lagi
contohnya.
KRITIK
GAYA BAHASA
Apabila ditinjau dengan seksama,
apa yang dilakukan oleh seorang kritik sastra sebenarnya sangat sederhana. Ia
mengambil setiap karya sastra yang mana pun dan bagaimanapun wujudnya untuk
dibaca. Kritikus membaca setiap karya sastra yang bisa ia dapatkan. Kemudian dia menulis dalam bentuk sebuah
karangan untuk menerangkan betapa dan mengapa buku yang dibacanya membosankan
atau mengesankan sebenarnya tidak sulit, sebab dia dapat mengajukan ringkasan
buku tersebut.
Gaya bahasa yang digunakan dalam
sajak chairil anwar ini banyak sekali menggunakan retorika hiperbola, dalam
sajak ini banyak ditemukan bahasa-bahasa yang dapat dikatakan tidak masuk akal
atau sulit untuk terjadi di dunia nyata.Memang benar dalan sajak itu banyak
menggunakan retorika hiperbola, namun juga memakai retorika litotes yaitu ada
gaya yang menyangatkan namun, dalam arti sangat dikecilkan.
Dalam gaya bahasa yang di pakai
Chairil Anwar memungkinkan adanya pemindahan, penyimpangan , dan penciptaan
arti baru karena adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Selain itu juga
menggunkan sinekdoki pars pro toto maupun metafora. Sehingga dalam memaknai
puisi ini dibutuhkan anlaisis yang lebih teliti.
SIMPULAN
Gaya bahasa sangat penting untuk
pemaknaan karya sastra karena merupakan sarana sastra yang turut menyambungkan
makna karya sastra dan untuk mencapai nilai seninya. Akan tetapi, sampai
sekarang dalam kesastraan Indonesia belum ada penelitian gaya bahasa sastra,
belum ada buku stilistika yang khusus untuk sastra. Oleh karena itu, perlu
diadakan penelitian gaya bahasa dalam kesusastraan Indonesia dan penulisan
stilistika yang khusus untuk kesusastraan.
Gaya
bahasa, yang merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan
efek tertentu, ada beberapa jenis, yaitu gaya bahasa individu, gaya bahasa
golongan sastrawan, aliran tertentu, dan gaya bahasa periode. Karena itu,
penelitian gaya bahasa dapat dilakukan dalam bidang-bidang tersebut, sesuai
dengan keperluan. Akan tetapi, dalam penulisan stilistika perlu diperhatikan
gaya bahasa yang bersifat umum dan tidak hanya yang bersifat khusus.
Sebelum
mengkritik gaya bahsa pada suatu karya sastra, perlu terlebih dahulu
menganalisis gaya bahasanya. Gaya bahasa merupakan unsur struktur karya sastra.
Oleh karena itu, makna gaya bahasa tidak dapat terlepas dari unsur-unsur
lainnya dan kesuluruhannya. Dengan demikian, penelitian gaya bahasa dilakukan
dalam kerangka teori dan metode strukturalisme-semiotik. Hal ini mengingat pula
bahwa gaya bahasa diperlukan pembacaan karya sastra secara semiotik, yaitu
heuristik dan hermeneutik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hardjana, Andre.
(1994). Kritik sastra Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT. Gramedia.
Keraf,
Gorys. (1996). Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia.
Pradopo,
Rachmat Djoko. (2000). Pengkajian Puisi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahmanto dan
Dich Hartoko.(1986). Unsur Struktur Sastra.
Jakarta: PT.Gramedia.
Semi,
atar.(1989). Kritik Sastra. Bandung:
Angkasa
Tarigan,
Herry Guntur. (1985). Pengajaran Gaya
Bahasa. Bandung: angkasa.
Warriner.(1977).
Struktur Karya Sastra. Bandung:
Jalusutra.
Semoga bermanfaat..!!
ReplyDeleteBest Casino in NYC - MapyRO
ReplyDeleteBest Casino in NYC. Find the closest 통영 출장안마 casino to Manhattan. 김제 출장안마 Find a 경상북도 출장마사지 map showing all 수원 출장안마 casinos, poker rooms, restaurants and 창원 출장안마 more near the strip