Telaah Puisi Indonesia
Resensi 10 Buku Kumpulan Puisi

Oleh:
Nafisatun
Nurroh
121511133063
Kelas
C
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANNGGA
2016
Resensi
10 Buku Kumpulan Puisi :
·
Chairil
Anwar
Judul : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis : Chairil Anwar
Cetakan : Juli, 2011
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
ISBN :
978-979-22-277-2
Dalam kumpulan puisi Chairil Anwar, sebagian
puisinya berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya,
dan perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan, ibu,
pemberontakan, individualisme, dan
terlebih lagi tentang kematian. Chairil Anwar tidak seperti Rendra maupun
Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim
penguasa. Chairil Anwar lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman
hidup pribadi yang dihayatinya. Selain itu, hampir semua puisi karya Chairil
Anwar juga merujuk pada kematian.
Contoh Puisi Chairil Anwar yang merupakan puisi
tentang kisah percintaan dia dengan kekasihnya yaitu puisi “Senja di Pelabuhan
kecil”, Chairil biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal
tetapi puisi ini dia merasa pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga
puisi ini seakan-akan menjadi melankonis karena sajaknya berisi tentang ratapan
dan kesedihan Chairil Anwar dalam memikirkan nasib yang benar-benar tidak bisa
dirubah. Tetapi emosi Chairil yang menguasai puisi ini, menyebabkan sajaknya
tidak terlalu terlihat sedih.
Hal ini berbeda dengan puisi Chairil yang
menunjukkan ketegaran dan kekuatan Chairil. Seperti yang tergambar dalam
puisinya yang berjudul “ Aku”.
Penyair menulis puisi ini karena penyair ingin menunjukkan keindividualan.
Chairil membawa semangat lewat puisi tersebut karena pada saat itu orang
Indonsia belum ada yang meng-akukan dirinya. Pada salah satu bait dalam puisi
tersebut terdapat kesadaran penyair peran dalam hidupnyayang mengharuskan
adanya tindakan agar tidak terpengaruh oleh orang lain. Chairil berpikiran
bahwa pengaruh orang lain dapat membuat dirinya kehilangan kemerdekaannya. Selain
puisi-puisi diatas, dalam buku kumpulan puisi Chairil Anwar juga terdapat
puisi-puisi yang mempunyai kisah tentang ibu, kematian, kehidupan pribadi, dan
sebagainya.
·
W.S
Rendra
Judul : Ballada Orang-Orang Tercinta
Penulis : W.S Rendra
Cetakan : VII, 1993 (I, 1957)
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta
ISBN :
979-419-004-7
Tebal : 52 Halaman
Gaya bersajak Rendra sangat begitu memerhatikan
gejala lahiriah. Hal ini mungkin sekali terjadi karena Rendra juga merupakan
figur panggung pertunjukan, yang kemudian menganggap puisi sebagai adegan
dramatik yang sedang disajikan untuk penonton. Rendra menghadirkan sajak-sajak
baru yang menekankan gejala lahiriah untuk diamati, diserap, dicerna, dan dimuntahkan
secara dramatik. Puisi-puisi Rendra didominasi kesan-kesan heroik dan penuh
semangat, bahkan juga dalam hubungan percintaan. Penggambaran hidup perempuan
juga hadir dalam kumpulan sajak Rendra. Selain tersirat dalam beberapa
penggambaran yang mengungkap lelaki dan segala kompleksitas pemikirannya. Sajak
Rendra lebih tertuju langsung kepada masalah-masalahnya sendiri.
Dalam buku kumpulan puisi “ Ballada Orang-Orang Tercinta” terdapat gaya bahasa Rendra yang
begitu memerhatikan gejala lahiriah, yang disajikan dalam puisi-puisinya, dan
itu sangat berbeda sekali dengan penyair-penyair pendahulu. Selain ciri puisi
Rendra yang menujukkan gejala lahiriah, puisi rendra juga ada yang bertema
tentang percintaan, contoh tema ini sangat kentara dalam dua kumpulan sajak
pertama yang berjudul “Kakawin Kawin dan Malam Stanza”. Citra yang ditampilkan dalam
puisi-puisi ini bersifat naturalis. Pencitraan ini sangat khas dipakai oleh
banyak penyair untuk memberikan kesan liris romantis.
Sedangkan puisi yang bertema sosial, contoh puisinya
yaitu puisi “Sajak-Sajak Dua Belas Perak”. Puisi ini mengandung makna tentang
sosial manusia. Sajak tentang bunda juga dihadirkan secara khusus di sub bab
Bunda di bawah rumpun “Nyanyian Dari Jalanan”. Sajak itu menggambarkan
kerelaan dan kelapangan seorang bunda melepas putranya mengembara. Hati bunda
digambarkan sebagai “tanah yang dibajak dan diinjak”, yang semakin lama semakin
parah tetapi juga semakin subur. Hati bunda, lanjut sajak itu, merupakan
“belantara yang rela terbuka”. Penggambaran ini sangat menakjubkan dan terlihat
tidak klise. Betapa lapangnya hati yang serupa belantara yang rela terbuka,
yang nantinya, tentu saja, akan ditanami berbagai tanaman baru yang entah akan
berjenis apa. Selain puisi diatas juga terdapat puisi-puisi yang bertema
lain dalam kumpulan puisi tersebut.
·
Subagio
Sastrowardoyo
Judul : Simfoni Dua
Penulis : Subagio Sastrowardoyo
Cetakan : V, 1995
Penerbit : Balai Pustaka
ISBN :
979-407-26-48
Puisi-puisi Subagio umumnya dipandang mempunyai
bobot filosofis yang tinggi dan mendalam. Tidak dapat ditafsirkan secara
harfiah. Perumpamaan dan lambang digunakan secara dewasa dan matang. Subagio
merupakan penyair yang puisinya tidak terbatas pada puisi. Di dalam tulisannya
tersirat suatu kritikan-kritikan. Dalam cerpen dan sajak-sajaknya Subagio
banyak melukiskan manusia yang gampang dirangsang oleh nafsunya, dimana
manusia-manusia tersebut adalah makhluk yang mencoba mempertahankan kewajiban
namun tergoda oleh sifat-sifat nalurinya. Puisi Subagio sebagian juga bertema
tentang kematian atau maut.
Contoh puisi Sastrowardoyo bersifat ironi atau tidak
langsung terdapat dalam setiap kata dalam puisi yaitu puisi “Nyanyian Ladang”.
Dengan penggambaran petani yang sangat menderita, penyair seakan-akan ingin
menyampaikan kepada dunia bahwa inilah keadaan petani. Penyair ingin
orang-orang tahu keadaan petani untuk kemudian mau peduli untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan petani. Namun kata-kata yang dipakai oleh penyair
bukanlah kata-kata yang sebenarnya, tetapi menggunakan kata-kata yang mempunyai
arti kebalikannya.
Sedangkan puisi sastrowardoyo yang bertema tentang
kematian, salah satunya yaitu puisi “Di Ujung Ranjang”. Dalam puisi ini,
Sastrowardoyo menulis kesinisan yang lembut untuk mengungkapkan kengerian
tentang suatu kematian. Dari segi proses kreatif, ketika menulis puisi, Subagio
memanfaatkan betul kekuatan kreatif yang dimilikinya pada kemampuan menghayati
dan memiliki pengetahuan tentang kehidupan di luar dirinya. Ia menjadi seseorang
terbuka bagi segala kemungkinan mengetahui, mencoba, menolak, menerima, atau
member makna baru terhadap sesuatu.
Selain tema-tema yang telah disebutkan di atas,
Sastrowardoyo juga menggunakan tema patriotisme. Contoh dari tema tersebut
yaitu puisi “ Doa di Medan Perang”. Dalam
puisi ini terdapat perjuangan dan
pertahanan hidup yang sesuai dengan setiap larik yang menyatakan bahwa selalu
berharap diberi kemudahan dalam segala hal. Masih ada banyak lagi contoh-contoh
puisi yang lain dan dengan tema yang lain pula.
·
Sutardji
Calzoum Bahri
Judul : O Amuk Kapak
Penulis : Sutardji Calzoum Bachri
Cetakan : III, 2013
Penerbit : yayasan Indonesia dan Majalah
Horison
Halaman : 110 halaman
Dalam sajak-sajaknya, Sutardji memperlihatkan
dirinya sebagai pembaharu berpuisian Indonesia. Terutama karena konsepnya kata
yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada
fungsi kata seperti dalam mantra. Sutardji mengungkapkan semua itu melalui
puisi-puisi yang diciptakannya. Seperti yang terdapat dalam puisi “ TAPI” karya
Sutardji. Gaya bahasa yang digunakan pada puisi tersebut adalah hiperbola,
yaitu gaya bahasa yang melebihkan . seperti pada baris “ Aku bawakan mayatku
padamu”. Pada kalimat tersebut dapat kita analisis bahwa mana mungkin mayat
sendiri bisa dibawa kehadapan Tuhan, hal tersebut tentu berlebihan.
Selain tujuan Sutardji membebaskan makna kata dari
kungkungan dalam puisi-puisinya, Sutardji juga menghiasi beberapa puisinya
dengan tema-tema social, salah satu contohnya yaitu puisi “ Tanah Air Mata”,
puisi ini menggunakan penderitaan warga Riau karena adanya keterkaitan dari
pusat. Pemerintah pusat dengan sangat mudahnya mengambil segala apa yang ada di
Riau, khususnya Sumber Daya Alam. Mereka mengambil itu semua tanpa mempertimbangkan
perasaan rakyat Riau. Dengan puisi inilah Sutardji mengungkapkan kepeduliannya
terhadap sesama. Cirri lain puisi-puisi Sutardji yaitu pembebasab makna kata.
Seperti yang terdapat dalam puisinya “Husspuss”. Dalam puisi husspuss mengalami
tiga penyimpangan bahasa. Pertama penyimpangan leksikal yakni kata-kata yang
digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang digunakan sehari-hari.
Kedua penyimpangan sintaksis. Puisi tersebut tidak membentuk kalimat, namun
membentuk larik-larik. Terakhir, penyimpangan grafologis. Dalam memilih
kata-kata , kalimat, larik, dan baris, penyair sengaja melakukan penyimpangan
dari kaidah bahasa yang sudah berlaku. Pembebasan kata yang dimaksud sutardji
yaitu memungkinkan penyimpangan bahasa yang ada batasnya untuk termungkinnya
komunikasi.
Salah satu puisi beliau yang terkenal yaitu puisi “
Sepisaupi”, dalam puisi ini menggambarkan dosa yang telah dilakukan dan membuat
penyesalan yang mendalam, kerena dosa yang telah dilakukan membuat perenungan
dalam kesendirian, ketika kesendirian itu yang dirasakan hanyalah penyesalan
sepisaupa sepisaupi pelukisan akan pisau dan sepi seolah-olah kesendirian yang
menyakitkan, sepisapanya sepikau sepi disini tak ada lagi sapaan kerena
kesepian yang telah dialami. Masih banyak puisi-puisi beliau yang membebaskan
makna setiap kata.
·
Nirwan
Dewantoro
Judul :
Buli-buli Lima Kaki
Penulis : Nirwan
Dewanto
Cetakan : I, November
2010
Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 168 halaman
(55 judul puisi)
ISBN : 978-979-22-6443-2
Disamping dikenal sebagai pemikir dan pemerhati
budaya, Nirwan juga salah satu penyair yang memilih menjauh dari hiruk pikuk
publik dan membuka semua peluang yang mengeksploitasi bahasa serta arti bahasa
yang tidak tersentuh oleh pelaku komunikasi lainnya. Nirwan Dewantoro mampu
menampilkan bahasa yang tidak saja cemerlang, namun juga memperkaya khasanah
puisi. Kekuatan puisi Nirwan terletak pada keutuh-paduan struktur kejernihan
pengungkapan, kebaruan perumpamaan, dan ketelitiannya menganggap detail. Nirwan
tidak peduli sastra kanan atau kiri, sastra tinggi atau rendah, timur atau
barat, dan selatan atau utara.
Dalam suatu puisinya Nirwan juga lebih banyak
menggunakan aku lirik yang berasal dari dunia fauna, bukan manusia itu sendiri.
Aku lirik yang ia pilih menjadikan buku puisinya memiliki khas keistimewaan yang
tersendiri. Seperti yang terdapat dalam dalam buku kumpulan puisinya Buli-Buli Lima Kaki. Dalam buku ini kita
akan menemukan kekayaan atas kesederhanaan dari kehidupan sehari-hari yang bisa
kita lihat atau alami. Tipografi puisi-puisi dalam buku ini cukup menarik untuk
dibaca. Pembaca ketika pertama kali membuka buku tersebut, kita akan dibuat
bingung dengan pengemasannya. Pembaca akan diajak untuk berpikir apakah buku
ini benar-benar merupakan buku kumpulan puisi seperti yang tertera pada sampul
buku, karena Nirwan mengemas hamper setengah dari puisi miliknya dalam buku ini
dalam prosa lirik. Bentuk yang sedari awal seperti orang yang sedang menulis
dan mendeskripsikan ceritanya, bukan memadatkannya seperti puisi pada umumnya.
Kurang lebih ada 32 jumlah judul puisi di Buli-Buli Lima Kaki ini berupa prosa
lirik yang lebih dari setengah puisi dalam buku tersebut. Jumlah yang cukup
signufikan jika disbanding dengan total keseluruhan 55 buah judul puisi.
Sekilas susunan sajak itu tampak sebagai prosa karena larik-lariknya relative
lebih panjang dari sebagian besar sajak yang di ciptakan oleh
pengarang-pengarang yang lain. Inilah yang membuat Nirwan Dewantoro agak
berbeda dengan penyair-penyair puisi lainnya.
·
Emha
Ainun Najib
Judul
buku : Lautan Jilbab
Ketebalan
: 54 halaman
Penerbit
: Sipress
Tahun
Terbit : 1986
Jumlah
judul : 33 judul
Dalam kumpulan puisi karya Ainun Najib, Ainun Najib
mampu merangkum dan memadukan dinamika-dinamika berbagai tema, diantaranya
adalah kesenian, agama, pendidikan politik, dan sinergi ekonomi. Ainun mampu
memadukan diantara semuanya dengan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu karya
sastra yang sangat unik dan penuh dengan arti.
Berdasarkan tema-tema dalam kumpulan puisi Ainun
Najib seperti yang telah dicantumkan di atas bahwa, dalam puisi-puisi Ainun
Najib memang sering memadukan beberapa suatu problematika dengan keagamaan.
Sebagai contoh yaitu dalam kumpulan puisi Ainun Najib yaitu lautan Jilbab, dalam buku ini berisi
tentang pesan moral yang secara implisit mengandung tema besar yaitu pendidikan
kepribadian seorang muslim. Pada sejumlah kumpulan puisi Emha Ainun Najib
memang tak lepas dari nuansa islami di setiap baitnya. Selain itu, kumpulan
puisi ini juga bernuansa social yang dimunculkan secara tersirat maupun
tersurat.
Buku kumpulan puisi Lautan Jilbab sangat menggambarkan sikap religious pengarang yang
islami serta didalamnya mengandung mengandung nilai ekstrinsik agama,
psikologi, dan social kemasyarakatan. Disamping itu, perilaku religious Emha
Ainun Najib juga sangat mempengaruhi hadirnya puisi-puisi tersebut. Buku
kumpulan puisi Lautan Jilbab juga
terdapat satu puisi yang berjudul “ Di Awang Uwung”, puisi ini melukiskan
situasi sosial pada saat itu. Puisi ini menjelaskan tentang perilaku wanita di
berbagai sudut kehidupan . sesungguhnya pada puisi tersebut merupakan gambaran
tentang hal yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sosial. Wanita yang
berjilbab tetapi tidak menunjukkan kemuslimannya, sehingga menggunakan jilbab
hanya sebagai hiasan saja. Pada dasarnya puisi tersebut setidaknya dapat menjadi
cerminan kepribadian manusia yang beragam ditampakkan Emha Ainun Najib dalam
puisi tersebut. Masih banyak lagi cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Lautan Jilbab yang bernuansa
religius lainnya. Itulah yang menunjukkan cirri kesastrawanan dari Emha Ainun
Najib.
·
Afrizal
Malna
Judul
buku : Dalam Rahim Ibuku Tak Ada
anjing
Ketebalan
: 78 halaman
Penerbit
: Bentang Budaya, Yogyakarta
Tahun
Terbit : Desember, 2002
Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya
sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling
punya hubungan linier ataupun ikatan antar kata dan antar frasa yang tertib dan
masuk akal. Struktur, bangunan, dan logika
yang terdapat dalam puisi-puisinya cenderung fragmentaris dan sering
absurd. Puisi-puisinya cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa
yang integral dan cocok debngan segala hokum representasi. Citraan benda-benda
dan kosmos urban juga menjadi salah satkarakter yang menonjol dalam puisi-puisi
Afrizal Malna.
Penyair memilih kata, menata kalimat, memilah makna.
Penyair berpikir. Penyair merenung. Lalu mengabarkan sepenggal puisi. Ini bukan
tentang kabar yang terang benderang. Sebagian yang lain tersembunyi
rapat-rapat. Biarkan sang penyair tersenyum dan menganggap itu hak mereka untuk
menyimpan makna buat diri mereka sendiri. Maka, tak perlulah kau berpayah-payah
mengais apa yang mereka sembunyikan. Jika kau senang, ambillah. Jika tidak,
tetaplah senang.” “Jangankan puisi, berita pagi pun punya misterinya sendiri.
Apa yang bisa mereka katakan dalam bacaan berita selama setengah menit. Mereka
pun menyilakan kau memahaminya dari gambar-gambar bergerak. Mereka pikir, satu
gambar adalah seribu kata. Padahal satu gambar pun punya beranda dalamnya
sendiri yang mereka sembunyikan rapat-rapat.” Afrizal Malna.
Puisi-puisi afrizal malna mempunyai keajaiban yang
tak terduga-duga. Lorong Gelap dalam Bahasa Si maut itu sudah datang membuat
kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu
kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari
kamarku. Setiap malam ia menyetel radio dan tv. Koran pagiku selalu diambilnya.
Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari
goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar
jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku. Aku
bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua
mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah geraja yang
rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan
lorong gelap dalam bahasa. Dan Si maut itu membuat mulutku seperti peti besi.
Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus
dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya
datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan
kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus. Si maut
itu, api dari kaki-kaki bahasa.
·
Mustofa
Bisri
Judul
buku : Pahlawan dan Tikus
Ketebalan
: vi+ 10 halaman
Penerbit
: Pustaka Firdaus
Tahun
Terbit : 1995
Jumlah
judul : 56 judul
Dalam karyanya, Gus Mus seringkali menunjukkan sikap
kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat. Gaya pengucapan
puisi Gus Mus tidak berbunga-bunga, sajaknya tidak berupaya untuk
bercantik-cantik dalam gaya pengucapannya. Tetapi lewat kewajaran dan
kesederhanaan itulah berucap atau berbahasa
yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasa yang digunakan
Gus Mus langsung, gambalang, tetapi walaupun demikian tidak menjadikan puisinya
tawar ataupun klise.
Keunikan
dalam puisi-puisi Mustofa Bisri terletak pada pengungkapan masalah social dan
spiritual dengan menggunakan bahasa yang sangat sederhana seperti yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada bagian sampul buku kumpulan puisi ini, bagian
belakang terdapat komentar-komentar para pendekar pilih tanding dalam bidang
sastra. Seperti Taufik Ismail, dalam sampul tersebut mengomentari bahwa “Rasa
terlibat yang kuat dengan masalah sosial, kesungguhan seorang saleh yang
berilmu, kerendahan hati dan rasa humor terpadu dalam pribadi K.H.A Mustofa
Bisri yang membayang dalam puisi-puisinya. Ada lagi misalnya Danarto “ Lewat
puisi, kyai Mustofa Bisri membuat ayat-ayat suci menjadi operasional bagi
sepak-terjang keadilan, kemakmuran, dan kebenaran.
Buku kumpulan puisi Pahlawan dan Tikus ini, terdapat beberapa bagian, yaitu
“Puisi-puisi Gelap” ada tujuh buah puisi, “Puisi-puisi Terang” ada 15 puisi,
“Puisi Agak Terang” ada enam puisi, “Puisi Terang” ada 20 puisi, “Puisi
Terang-terangan “ ada lima puisi, dan “Puisi Penerang” ada tiga buah puisi.
Itulah puisi-puisi yang digolong-golongkan oleh Mustofa Bisri dalam sebuah buku
kumpulan puisinya yang berjudul Pahlawan
dan Tikus menjadi enam bagian.
·
Goenawan
Muhammad
Judul
buku : Tuhan dan Hal-Hal yang Tak
Selesai
Ketebalan
: 166 halaman (99 total)
Penerbit
: Katakita
Tahun
Terbit : 2007
Tulisan yang dihasilkan oleh Goenawan Muhammad
banyak mengangkat tema HAM. Selain itu tema yang sering digunakan oleh Goenawan
yaitu tentang agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Goenawan sering menggunakan
puisi untuk mengkritik hal-hal yang menyangkut tentang masalah tersebut yang
dia pandang kurang benar.
Tuhan & Hal-Hal Yang Tak Selesai adalah buku
permenungan yang filosofis dan puitis. Di dalam buku ini, GM seperti tidak
sedang berbicara pada audiens tertentu, tapi pada dirinya sendiri (di beberapa
tulisan kita bahkan seperti ditelantarkan begitu saja; tulisan berhenti sebelum
klimaks tercapai dan kita dibiarkan berada di ruang tanpa petunjuk dengan
banyak pertanyaan). Inilah menurut saya yang membuat refleksi itu yang
berbicara tentang hal-hal yang sangat esensial, filsafiah terasa puitis.
Seperti dalam puisi, ada yang menggantung, ada berlapis-lapis makna yang bisa
diungkap meskipun tetap tanpa kepastian tergantung pada ketelatenan dan
kesiapan kita mengulitinya.
Sebuah alegori tentang kisah salah satu tiang Masjid
Demak yang terbuat dari tatal (“serpihan kayu yang tersisa dan
lapisam yang lepas ketika papan dirampat ketam”) membuka kumpulan esai ini.
Lewat itu, kita seolah-olah disiapkan untuk menerima permenungan-permenungan
selanjutnya tentang Tuhan dan hal-ikhwal mengenai keberadaan-Nya yang
seringkali justru muncul dari hal-hal yang sering dianggap remeh, terbuang, dan
tak beraturan. Seperti rumah Tuhan yang “ditopang oleh yang
terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata,” seperti itulah jalan
menuju (dan pemahaman tentang) Tuhan yang tak selamanya dapat ditempuh melalui
atau ditopang oleh “pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta”
(Hal 9).
Setelah itu, buku ini mengajak kita untuk merenungi
ada dan tiada, kefanaan, kehidupan dan kematian. Lalu tentang yang terang
benderang dan misterius dan gaib, tentang Tuhan yang dialami dan Tuhan yang
dilembagakan, dan sebagainya.
·
Joko
Pinurbo
Judul
buku : Surat Kopi
ISBN : 968-602-70054-2-6
Kolasi : vi + 74 halaman
Penerbit
: Motion Publishing
Tahun
Terbit : 2004
Joko Pinurbo seringkali mengisahkan peristiwa
sehari-harinya lewat puisi. Joko
Pinurbo menyimpan obsesi keliling Tanah Air memotret sejarah dan membingkainya
dalam reportase puisi. Karya Joko Pinurbo bersifat naratif, tidak mementingkan
rima. Puisi ditampilkan sebagai sesuatu yang angker. Puisi-puisi Joko Pinurbo
merupakan ironi-ironi hidup manusia sehari-hari yang diungkapkan dengan
kata-kata ringan. Isi dalam buku tersebut yaitu terdapat dengan puisi-puisi
yang membuat kita yang membacanya terlarut. Serasa diajak berenang di dalam
secangkir kopi yang pekat. Tidak memabukkan, justru membuat mata jiwa
terbelalak lebar. Seperti kebanyakan puisi modern, karya Joko Pinurbo sangat
mudah dicerna. Tidak menggunakan bahasa-bahasa sastra tinggi yang asing di
telinga, namun tetap indah, sarat makna, dan sangat bercerita.
Puisi-puisi Joko Pinurbo begitu sederhana,
diksi-diksinya pun sangat mudah dicerna. Namun, dengan begitu kecerdikannya
dalam mengemas makna yang ingin disampaikan terlihat dengan jelas dan lugas. Sehingga
puisi-puisi yang disajikan olehnya begitu syarat akan makna yang
mendalam–sehingga, kita, yang membaca seakan diajak larut dan berenang-renang
dalam pekat hitam secangkir kopi.
Assalamualaikum, Mbak Nafisatun. Jika berkenan, saya ingin menggunakan tulisan ini untuk contoh dalam buku pelajaran bahasa Inodnesia.
ReplyDeleteBolehkah, Mbak?
Alaikum salam, Iya silahkan semoga bermanfaat.
ReplyDelete