Eksistensi Lokalitas dan Budaya
Dalam Kumpulan Cerpen “Cinta Tak Pernah Tua”
Karya Benny Arnas
Tugas
Akhir Mata Kuliah
Teori
Sastra II
Oleh
Nafisatun
Nurroh
121511133063
Kelas
C
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
Eksistensi Lokalitas dan Budaya
Dalam Kumpulan Cerpen “ Cinta Tak Pernah Tua”
Karya Benny Arnas
Pendahuluan
Perkembangan dunia kepenulisan prosa di Indonesia semakin berkembang pesat
dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Zaman sekarang banyak sekali
karya-karya sastra yang memperlihatkan keberagaman tema yang dimunculkan dalam
penulisan karya tersebut. Tema dalam
suatu karya sastra tidak hanya melulu mempermasalahkan tema kehidupan sosial
politik kebudayaan yang bersifat umum dan berlatar di sentral simbol-simbol
negara seperti ibu kota maupun Pulau Jawa , namun juga berupa tema lokal yang
selama ini tidak dianggap sentral.
Tema lokalitas menjadi bahan
tersendiri oleh penulis suatu karya sastra yang mempunyai akar lokal dan memang
mungkin berada dalam lingkungan lokalitasnya. Melalui tema tersebut, pembaca
ataupun penikmat disuguhkan gambaran dari eksistensi ataupun keberadaan dari
lokalitas itu sendiri meskipun belum secara langsung berada dalam lingkungan
yang digambarkan dalam karya sastra tersebut.
Eksistensi yang ditampilakn dalam
karya sastra tersebut bukanlah suatu upaya memperlihatkan keberhasilan dan
kesuksesan. Akan tetapi memperlihatkan suatu keberadaan yang mungkin saja luput
dari perhatian pembaca maupun penikmat suatu karya sastra. Salah satu karya
yang memperlihatkan tema lokalitas serta budaya yang menonjol yaitu buku
kumpula cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” oleh Benny Arnas. Kumpulan cerpen yang
terdapat benang merah didalamnya karya Benny Arnas berisi 12 cerpen yang
semuannya sebagian besar berlatar Sumatra Selatan dan sedikit di Lampung,
Bengkulu, dan Jambi. Benang merah yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut
yaitu semua cerpen tersebut memiliki hubungan dengan tokoh yang dominan yakni
bernama Samin.
Meskipun ada beberapa cerpen yang
tidak menyebut nama Samin dalam cerpen, namun tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen
tersebut memiliki keterkaitan dengan Samin. Itulah kelihaian Benny Arnas dalam meramu
suatu karya sastra dengan kesatuan lokalitas serta budaya yang diciptakannya.
Di samping itu, tidak hanya lokalitas yang diangkat dalam kumpulan cerpen Benny
Arnas tetapi ada juga fenomena seorang pejuang yang tidak diakui, kebiasaan
seksualitas yang dilarang, fenomena poligami, kehidupan suatu rumah tangga, dan
kebiasaan-kebiasaan budaya yang lainnya.
Pembahasan
A. Eksistensi
Lokalitas yang Dominan
Seperti
yang telah dijelaskan sedikit dalam pendahuluan, eksisitensi lokalitas dalam
karya sastra ini bukanlah suatu upaya memperlihatkan keberhasilan dan
kesuksesan karya sastra ini. Akan tetapi memperlihatkan suatu keberadaan yang
mungkin saja lepas dari perhatian para pembaca karya sastra. Dalam kumpulan cerpen
“Cinta Tak Pernah Tua” karya Benny Arnas ini terdapat 12 cerpen yang semuanya
sebagian besar berlatar tempat yang sama, yaitu di Sumatera Selatan dan sedikit
di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Hal menarik lainnya yaitu cerpen-cerpen
tersebut semuanya memiliki hubungan dengan tokoh yang dominan dalam
cerpen-cerpen tersebut, yaitu seorang tokoh yang bernama Samin.
Setelah
dipahami ternyata cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Benny arnas ini memiliki
hubungan antar cerpen yang ada di dalamnya. Sehingga seperti terdapat garis
merah yang menghubungkan antar cerpen-cerpen tersebut. Cerpen yang pertama
“Pengelana Mati dalam Hikayat Kami” menceritakan tentang seorang pengelana
yakni Samin yang menjelajahi rimba karet Belalau, lampung atau daerah tepi
Jalan Lintas Sumatera. Pembaca diajak oleh Benny Arnas agar mengenal sosok
Samin yang merupakan veteran dan pria yang banyak istri pula. Seperti penggalan
cerpen dibawah.
“Entah bagaimana, kau singgah di
sebuah rimba karet di Belalau, daerah tepi Jalan Lintas Sumatera. Kau masuk ke
dalamnya. Apakah begini tabiat seorang pengelana? Kau susuri rimbun ilalang dan
rumput kanji, semak putri malu dan batang-batang buah pena yang menyerupai kerimunting
merangas, dan cendawan-cendawan yang menumpang bernaung di tunggul-tunggul yang
kehilangan nyawa. Kau menebas-terabas semuanya seolah kau hafal seluk beluk
rimba itu, padahal paha hingga kakimu hanya dilapisi jins belel dan sepatu
jelajah dari kulit buaya.”
(Cerpen Pengelana Mati dalam Hikayat
kami, Benny Arnas, 2014:7)
Dalam penggalan cerpen
di atas, diterangkan dengan jelas bahwa, Samin merupakan seorang veteran yang
singgah dalam sebuah rimba karet yang diperjelas pula letak rimba karet
tersebut yaitu di Belalau, daerah di tepi Jalan Lintas Sumatera. Tidak hanya
dalam cerpen tersebut, dalam cerpen lain
dalam kumpulan cerpen itu juga telah dijelaskan letak lokasi yang terdapat
dalam cerpen dengan sangat jelas dan konsisten. Seperti pula dalam kutipan
cerpen “Orang Inggris” di bawah.
“Pada tanggal sembilan belas
September, dua ratus tiga puluh tahun yang lalu, ia meninggalkan Benteng
Marlbourg. Di waktu yang sama, aku meninggalkan Lubuklinggau menuju Jambi
dengan berkuda. Di Pargarradin, kami berpapasan di semacam simpang yang
membelah rimba. Kami saling melempar senyum. Keheranan menyergap ketika
kudapati ia tak menunggang kuda (perasaanku mengatakan, ia akan melakukan
perjalanan jauh).”(Cerpen
Orang Inggris, Benny Arnas, 2014:6)
Dijelaskan
dalam kutipan cerpen tersebut bahwa latar tempat kejadian cerita tersebut
berada di daerah Linggau dan Jambi. Masih banyak lagi cerpen yang di dalamnya
tertera latar tempat kejadian yang konsisten dari sebagian besar cerpen dalam
kumpulan cerpen Benny Arnas ini. Seperti juga kutipan cerpen di bawah.
“Pikirkanlah lagi, Mai,” ujar
Samin penuh harap, “ Berita buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan
menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Uluksurung, tapi juga Pasarsatelit,
Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang
sedap untuk dilahap dalam pergunjingan.” (Cerpen Muslihat
Hujan Panas, Benny Arnas, 2014:52)
Dan
masih banyak lagi cerpen lain yang menunjukkan eksisitensi lokalitas dalam
kumpulan cerpen “ Cinta Tak Pernah Tua” oleh Benny Arnas. Secara keseluruhan
kumpulan cerpen tersebut banyak menggambarkan beberapa peristiwa dengan latar
tempat Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Karya sastra lahir karena adanya
keinginan dari pengarang untuk menuangkan ide-ide kreatif dan imajinatif yang dilihat,
dirasakan, dan diperhatikan dalam kehidupan nyata. Selain itu, karya sastra
sebagai karya yang iamjinatif tidak hanya dipenuhi oleh ruangan yang
indah-indah, memikat, tragis, menyedihkan, dan kaya akan lelucon, akan tetapi
lebih dari itu karya sastra juga berusaha mengkaji dan memahami hakikat manusia
ketika berhadapan dengan kehidupan sehari-hari di daerah masing-masing.
B. Penonjolan Unsur
Budaya Lubuklinggau
Para ahli
kebudayaan dalam memberikan konsep “kebudayaan” kebanyakan sangat luas dan
sangat sempit. Untuk itu, Koentjaraningrat (2004:2) guna keperluan analisis
konsep kebudayaan, perlu dipecahkan lagi kedalam unsur-unsur terbesar yang
terjadi karena pecahan tahap pertama disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”
dan merupakan unsur-unsur yang pasti dapat ditemukan dalam semua kebudayaan di
dunia, baik yang hidup dalam masyarakat kecil di perdesaan maupun dalam
kehidupan yang kompleks di perkotaan. Unsur-unsur universal tersebut adalah sistem
keagamaan dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
teknologi atau peralatan hidup.
Dalam
suatu kelompok masyarakat terdapat unsur budaya dalam kehidupan masyarakat.
Agar hubungan antara manusian di dalam suatu masyarakat berjalan sebagaimana
mestinya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang merupakan ukuran dari sikap yang
dimiliki masing-masing manusia di setiap ciri khas daerah tersebut.
Kumpulan
cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” akan dikaji melalui unsur budaya Lubuklinggau
yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen tersebut. Namun, tidak semua unsur-unsur
budaya universal yang akan dikaji, melainkan akan mengkaji unsur-unsur
kebudayaan yang hanya ada dalam kumpulan cerpen Benny Arnas meskipun tidak
semua unsur-unsur kebudayaan universal ditampilkan dalam cerita.
·
Sistem
Keagamaan
Kumpulan
cerpen “Cinta Tak Pernah Tua”, jika dilihat dari sisi unsur sistem religinya
mengungkapkan bahwa agama yang dipeluk oleh masyarakat Luklinggau yaitu agama
Islam. Hal ini bisa dilihat dari kutipan cerpen dibawah ini.
“O ya, kematianmu kali ini membuat
orang-orang kampung berdebat perihal tulisan yang akan diukir di nisanmu.
Entahlah
bagaimana dan siapa yang mengusulkan, keesok harinya sudah tertulis saja di
nisanmu:
Samin.
Tanpa
tanggal lahir.
Tanpa
tanggal wafat.
Tiga
ekor tupai sedang bergelayutan di ranting pohon kelor yang tumbuh dua meter
dari kuburanmu.” (Cerpen
Pengelana Mati dalam Hikayat Kami, Benny
Arnas, 2014:11)
Pada
kutipan cerpen di atas dapat kita lihat dalam pemakaian istilah meninggal menggunakan istilah wafat, sedangkan istilah tersebut hanya
dipakai oleh kalangan orang islam, sedangkan orang non islam tidak menggunakan
istilah meninggal dunia dengan wafat, melainkan dengan istilah yang
lain. Selain itu digunakan pula istilah batu
nisan yang ditulis juga nama serta tanggal lahir dan tanggal wafat
seseorang yang meninggal tersebut. Bukti lain yang menunjukkan bahwa pendduk
Lubuklinggau adalah masyarakat islam yaitu seperti kutipan cerpen di bawah:
Bakda zuhur, kalian menumpang
sebuah bus yang semua bangkunya sudah terisi untuk dua jam perjalanan ke depan.
Sungguh, kalian tak habis pikir bagaimana orang-orang muda di dalam bus
membiarkan saja dua orang tua berdiri dengan sebelah tangan berpegangan pada
besi terentang di atas lorong yang membagi barisan tempat duduk. (Cerpen Gulistan, Benny Arnas, 2014:14)
Dari kutipan di atas
bisa dengan jelas diidentifikasi bahwa masyarakat memeluk agama Islam karena
telah di sebutkan waktu siang hari
dengan menggunakan istilah Bakda Zuhur yaitu dari bahasa arab yang
artinya sesudah sholat zuhur. Sehingga
dapat dinyatakan bahwa tanpa penduduk yang memeluk agama islam, tidak akan
pernah tau dan tidak akan menggunakan istilah bahasa Arab tersebut. Selain
istilah tersebut ada pula istilah lain yang mendukung juga bahwa masyarakat
pada kumpula cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” sebagian besar memeluk agama islah,
seperti halnya kutipan di bawah:
Hingga siang Ramadhan 1993 itu
pun tiba.
Di bawah rindangnya pohon merbau,
kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun
bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan.
Sungguh, disaat seperti itu,
sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan,
kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya,
ketika seorang laki-laki kurus yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara
berlari ke arahnya.mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang ada
di hadapannya. (Cerpen Muslihat Hujan Panas, Benny Arnas, 2014:54)
Namun, dalam kumpulan
cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” mengisahkan pula penyimpangan dari nilai-nilai
atau ajaran agama Islam. Masyarakat Lubuklinggau masih ada yang menyimpang dari
jalan yang lurus meskipun ada pula yang sangat tekun dalam beribadah.
Nilai-nilai yang baik selalu diiringi dengan nilai-nilai yang buruk, sangat
diperlukan nilai-nilai yang dapat mengontrol perbuatan kearah yang lebih baik.
Kutipan yang menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan agama dalam kumpulan
cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” yaitu:
“Oh Ibu, aku tahu kau takkan
mencekikku walaupun, karena aibku, mulut orang-orang kampung takkan lelah
memuntahkan racun ke bilik ketentramanmu. Aku tahu kau takkan melupakanku
walaupun namamu telah kuusir dari ingatan sejak perpisahan sepuluh tahun lalu.
Aku tahu kau takkan membunuhku walaupun demi bertahan hidup, ku tangguk rupiah
dari selangkanganku...” (Cerpen Senja yang Paling Ibu, Benny Arnas, 2014:117)
Dari
kutipan di atas dapat dianalisis bahwa, dalam kumpulan cerpen Benny Arnas
tersebut terdapat juga penyimpangan moral agama. Di sana terdapat penyimpangan
yang berupa menjual harga diri. Hal ini sangatlah dibenci dalam agama Islam dan
sangatlah dilarang dalam Islam. Jadi, dalam unsur keagamaan dalam kumpulan
cerpen Benny Arnas ini memiliki nilai yang positif namun juga di sajikan pula
bentuk yang negatif dari unsur budaya yang berupa unsur keagamaan ini.
·
Sistem
Peralatan dan Perlengkapan Hidup
Sistem
peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat budaya Melayu Lubuklinggau juga terlihat
dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua”, berbagai peralatan dan sebutan
khusus daerah Lubuklinggau, seperti kendaraan berupa kuda, seperti kutipan di
bawah ini:
Ia bagai mengendus isi kepalaku.
Ia mendekati dan berkata (bukan merayu), sudikah aku memberi tumpangan.
Ah, Ia terlalu percaya diri. Aku
tak terlalu menyukai lagaknya. Lagi pula, tak lazim seekor kuda ditunggangi dua
orang. Ia juga orang yang baru aku kenal. Aku tak tahu apakah dia orang
baik-baik atau sebaliknya. Dan belum tentu kami memiliki tujuan yang sama. (Cerpen Orang Inggris, Benny Arnas, 2014:29)
Dilihat
dari kutipan dia atas, bisa di simpulkan bahwa masyarakat Lubuklinggau pada
waktu itu menggunakan kuda sebagai kendaraan sehari-hari dalam menghidupi
kebutuhan hidupnya. Selain itu, alat-alat perlengkapan untuk menyadap karet dan
alat-alat pertanian lainnya juga sangat penting bagi masyarakat Lubuklinggau.
Mereka sangat membutuhkan perlengkapan itu ketika mereka menjalankan mata
pencaharian sehari-harinya. Seperti dalam kutipan di bawah:
“Aku saja makan dari menjual
hasil kebun di samping belalau, “ujar Maisarah penuh kemarahan.”Sudah lima
tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdaih kalau sebentar lagi
pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah menjadi kotoran kerbau
baunya. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau
membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun
perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin betah tinggal di
masjid karena tak pernah lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!” (Cerpen Muslihat Hujan Panas,, Benny Arnas, 2014:52-53)
Peralatan
lagi yang digunakan dalam kumpulan cerpen yaitu sebuah keranjang anyaman. Dalam
cerita disebutkan bahwa keranjang anyaman ini digunakan oleh Mukhlisin sebagai
tempat menyimpan hasil- hasilnya dari hutan. Seperti menyimpan bunga kecubung,
cendawan, tandan pisang, jantung pisang, pakis, dan lain-lain. seperti yang
telah dicuplik dari cerita di bawah:
“Kadang ia memberi cendawan yang
dipungut dari tunggul-tunggul, kadang satu-dua tandan pisang, kadang jantung
pisang, kadang beberapa ikat pakis yang ia petik di hutan. Dan yang ytak
kadang-kadang adalah, selalu ada beberapa tangkai bunga kecubung di dalam
keranjang anyaman itu. Bunga-bunga itu kerap ia tawarkan kepada orang-orang
yang membeli kayu keringnya, walaupun jarang sekali ada yang mau menerimanya,
selain satu dua anak perempuan yang suka pada bunga. (Cerpen Bunga Kecubung Bergaun Susu, Benny Arnas, 2014:62)
Bagi
Samin sebagai seorang veteran dia menyimpan senapan sebagai alat simpananya. Namun,
dia tidak pernah mengeluarkan senjata simpanannya itu karena senjata tersebut
merupakan pemberian dari sahabatnya orang inggris. Dalam cerita ia hanya
mengeluarkan ketika ia sedang marah kepada istrinya dan digunakan untuk
membunuh sang Istri, Salma. Seperti kutipan di bawah:
“Kau todongkan moncong senapan
itu ke arah Salma. Telunjukmu menyentuh pelatuk. Dua detik kemudian, teriakan
istrimu menembus langit.
Keesokan harinya kau mendapati
fotomu di halaman muka koran lokal. O, pasti para tetangga telah melaporkanmu
ke polisi. Ah, untung saja kau sempat melarikan diri ke sebuah pondokan tak
terpakai di kmpung sebelah. Kau memang tak pernah ingin jadi buronan. Tapi,
dalam keadaan seperti ini, status lebih menguntungkan daripada duduk di kursi
pesakitan menunggu hakim menghukummu di persidangan.”(Cerpen Senapan Bengkok, Benny Arnas, 2014:74-75)
Namun,
senapan in i tidak semua masyarakat mempunyainya. Hanya si Saminlah seorang
veteran yang menyembunyikan senapan tersebut. Sebagian besar penduduk
Lubuklinggau adalah seorang petani atau pekebun untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, selain itu diceritakan pula bahwa ada sebagian penduduk yang
pekerjaanya membuat batu bata. Peralatan yang mereka miliki sebagian besar
mereka adalah peralatan yang mendukung mereka dalam pekerjaannya sehari-hari.
Dengan alat-alat tersebutlah dapat meringankan pekerjaan mereka serta membantu
perekonomian mereka sehari-hari. Dilihat pula dari mata pencahariannya,
Lubuklinggau merupakan daerah yang masih alami dan belum tercampur dengan
daerah yang metropolitan.
·
Sistem
Mata Pencaharian Hidup
Sistem
mata pencaharian hidup pada budaya Melayu Lubuklinggau yang terdapat dalam
kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” yang paling dominan yaitu petani karet
di Lubuklinggau karet dinamakan dengan para,
terdapat istilah khusus yaitu nakuk para.
Selain itu terdapat keanekkaragaman pekerjaan masyarakat Lubuklinggau yang
terdapat dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” karya Benny arnas. Selain
bercocok tanam seperti petani para (karet), tukang ladang, pencari kayu bakar
dan lainnya, terdapat juga profesi lain yaitu sebagai seorang veteran. Namun
dalam cerita tersebut, Samin dan Mukhlisin merupakan mantan seorang veteran
yang diantara mereka ada yang tidak diakui oleh Indonesia, yaitu seperti
Mukhlisin. Dia sebagai seorang veteran tidak diakui oleh pemerintah. Walaupun
begitu, Samin yang telah diakui dan di janjikan oleh pemerintah akan gaji tiap
bulannya tetap tidak menerima hak dari apa yang dijanjikan oleh pemerintah. Seperti
kutipan cerita di bawah:
“Aku saja makan dari menjual
hasil kebun di samping belalau, “ujar Maisarah penuh kemarahan.”Sudah lima
tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdaih kalau sebentar lagi
pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah menjadi kotoran kerbau
baunya. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau
membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun
perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin betah tinggal di
masjid karena tak pernah lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!” (Cerpen Muslihat Hujan Panas,, Benny Arnas, 2014:52-53)
Selain
mata pencaharian yang disebutkan di atas, ada pula masyarakat yang profesinya
sebagai seorang tukang pos. Dalam cerita telah diceritakan seperti kutipan di
bawah:
“Setelah 1980-an, ketika negara
sudah mengakui veteran, Didin, teman sepermainan Misral yang diterima menjadi
pegawai di kantor pos Lubuklinggau, selalu menyambanginya saban awal budal.
Tapi, bukan untuk mengantarkan foto atau surat dari Misral, melainkan biaya
hidup yang sudah dianggarkan negara untuk bekas pejuang sepertinya.” (Cerpen Pohon Tanjung itu Cuma Sebatang,, Benny Arnas, 2014:45)
Selain itu, tidak
sedikit pula masyarakat Lubuklinggau yang berprofesi sebagai pedagang yang
menjajakan dagangannya di sebuah pasar di daerah Lubuklinggau. Dan ada pula
sebagian yang masih sebagai pengangguran.
·
Sistem
Kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan dibagi menjadi dua yaitu sistem kekerabatan dan sistem aktivitas
sosial masyarakat. Pada kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” membahas
mengenai sebutan kekerabatan khusus dalam masyarakat Lubuklinggau. Seperti
sebutan Kek Vet, yang merupakan
singkatan kakek veteran. Seperti kutipan di bawah:
“Kau sangat bangga mengenakannya.
Apalagi ketika orang-orang menyapamu Kek Vet, singkatan dari Kakek Veteran, kau
sangat tersanjung. (Cerpen
Senapan Bengkok,, Benny Arnas,
2014:71).
Masyarakat
Lubuklinggau memanggil sebutan ibu dengan Mak dan sebutan Ayah dengan Bak.
Untuk paman, mereka memanggil dengan sebutan Mang. Hal ini bisa dilihat dari
kutipan cerita di bawah:
“Yakin kau anaknya Si Mur, heh?”
Mang Jali terkekeh. Diikuti Mang Amir seraya menyeruput gelas kopi keduanya.
“Kalau tak percaya sama kami, kau tanyalah pada Wak Mukhlisisn yang sering cari
kayu ke Bukit Sulap tu!”
Anas
melirik sekilas. Ia tahu, tukang kayu itu orang yang baik. Tak mungkin ia
bersekutu dengan Mang Jali dan kawan-kawannya. Benar saja, tak berselang lama,
Wak Mukhlisin meninggalkan kedai.
(Cerpen Batu Bujang,, Benny Arnas,
2014:85).
Dari segi aktivitas
sosial dalam cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” ini banyak mengungkap tradisi ketika
ada hajatan atau perkawinan dan kebiasaan masyarakat ketika ada salah satu
masyarakat yang ingin melamar seseorang harus melihat pangkat dan derajat
mereka. Seorang pemuda yang akan melamar seorang gadis yang disukainya, dia
harus mempunyai pangkat yang lebih tinggi daripada derajat keluarga sang Gadis
tersebut. Seperti kutipan cerita di bawah:
“Ketika masih muda, ia menjalin
hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada
gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang
mengejutkan. Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang
lahir, tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari
menyadap karet dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu
berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di
Kayuara.” (Cerpen
Belajar Setia,, Benny Arnas,
2014:95).
Dari
kutipan di atas bisa dilihat bahwa, aturan kedudukan atau derajat dalam
keluarga sangatlah penting bagi mereka. Mereka dengan tegas menolak seseorang
yang apabila melamar seorang gadis yang derajat keluarganya lebih tinggi
daripada derajat seorang laki-laki. Mereka menilai bahwa laki-laki yang derajat
keluarganya lebih rendah daripada si perempuan, tidak akan bisa menghidupi
keluarganya.
C. Simpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah
Tua” karya Benny Arnas mengeksistensikan lokalitas dan budaya Melayu
Lubuklinggau yang tercermin dari penceritaan dan perilaku tokoh yang ada dalam
cerita tersebut. Eksistensi lokalitas dapat dilihat dari penonjolan latar
tempat dalam setiap cerpen selalu konsisten di daerah Lubuklinggau. Setiap
cerpen tidak terlepas dari latar tempat Lubuklinggau, Sumatera Selatan ini.
Sedangkan,
refleksi unsur-unsur budaya dapat dilihat dari keempat unsur di atas yaitu,
sistem keagamaan, sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata
pencaharian, dan sistem kemasyarakatan, merefleksikan keadaan masyarakat
Lubuklinggau, tetapi ada yang merefleksikan keadaan saat ini dan ada pula yang
merefleksikan keadaan masa lampau. Tidak semua unsur universal budaya Melayu
terlihat dalam kumpulan cerita ini, melainkan hanya beberapa dari unsur
universal budaya tersebut.
Daftar
Pustaka
Arnas, Benny. 2014. Cinta Tak Pernah Tua. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Damono,
Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra
Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Irawati,
Diah. 2013. Pengertian Kebudayaan,
Unsur-Unsur Kebudayaan, Wujud Kebudayaan, dan Perubahan Kebudayaan. (http://diahirawati.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-kebudayaan-unsur-unsur-kebudayaan-wujud-kebudayaan-dan-perubahan-kebudayaan.html).
Diakses pada 26 Juni 2017. Pukul 11.33WIB.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Poerwanto,
Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan
dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung:
Angkasa.
No comments:
Post a Comment