Sunday, November 19, 2017

Eksistensi Lokalitas dan Budaya Dalam Kumpulan Cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” Karya Benny Arnas



Eksistensi Lokalitas dan Budaya
Dalam Kumpulan Cerpen  “Cinta Tak Pernah Tua”
Karya Benny Arnas
Tugas Akhir Mata Kuliah
Teori Sastra II


Oleh
Nafisatun Nurroh
121511133063
Kelas C

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

Eksistensi Lokalitas dan Budaya
Dalam Kumpulan Cerpen  “ Cinta Tak Pernah Tua”
Karya Benny Arnas
Pendahuluan
            Perkembangan dunia kepenulisan  prosa di Indonesia semakin berkembang pesat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Zaman sekarang banyak sekali karya-karya sastra yang memperlihatkan keberagaman tema yang dimunculkan dalam penulisan  karya tersebut. Tema dalam suatu karya sastra tidak hanya melulu mempermasalahkan tema kehidupan sosial politik kebudayaan yang bersifat umum dan berlatar di sentral simbol-simbol negara seperti ibu kota maupun Pulau Jawa , namun juga berupa tema lokal yang selama ini tidak dianggap sentral.
            Tema lokalitas menjadi bahan tersendiri oleh penulis suatu karya sastra yang mempunyai akar lokal dan memang mungkin berada dalam lingkungan lokalitasnya. Melalui tema tersebut, pembaca ataupun penikmat disuguhkan gambaran dari eksistensi ataupun keberadaan dari lokalitas itu sendiri meskipun belum secara langsung berada dalam lingkungan yang digambarkan dalam karya sastra tersebut.
            Eksistensi yang ditampilakn dalam karya sastra tersebut bukanlah suatu upaya memperlihatkan keberhasilan dan kesuksesan. Akan tetapi memperlihatkan suatu keberadaan yang mungkin saja luput dari perhatian pembaca maupun penikmat suatu karya sastra. Salah satu karya yang memperlihatkan tema lokalitas serta budaya yang menonjol yaitu buku kumpula cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” oleh Benny Arnas. Kumpulan cerpen yang terdapat benang merah didalamnya karya Benny Arnas berisi 12 cerpen yang semuannya sebagian besar berlatar Sumatra Selatan dan sedikit di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Benang merah yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut yaitu semua cerpen tersebut memiliki hubungan dengan tokoh yang dominan yakni bernama Samin.
            Meskipun ada beberapa cerpen yang tidak menyebut nama Samin dalam cerpen, namun tokoh-tokoh yang ada dalam cerpen tersebut memiliki keterkaitan dengan Samin. Itulah kelihaian Benny Arnas dalam meramu suatu karya sastra dengan kesatuan lokalitas serta budaya yang diciptakannya. Di samping itu, tidak hanya lokalitas yang diangkat dalam kumpulan cerpen Benny Arnas tetapi ada juga fenomena seorang pejuang yang tidak diakui, kebiasaan seksualitas yang dilarang, fenomena poligami, kehidupan suatu rumah tangga, dan kebiasaan-kebiasaan budaya yang lainnya.
Pembahasan
A.  Eksistensi Lokalitas yang Dominan
            Seperti yang telah dijelaskan sedikit dalam pendahuluan, eksisitensi lokalitas dalam karya sastra ini bukanlah suatu upaya memperlihatkan keberhasilan dan kesuksesan karya sastra ini. Akan tetapi memperlihatkan suatu keberadaan yang mungkin saja lepas dari perhatian para pembaca karya sastra. Dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” karya Benny Arnas ini terdapat 12 cerpen yang semuanya sebagian besar berlatar tempat yang sama, yaitu di Sumatera Selatan dan sedikit di Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Hal menarik lainnya yaitu cerpen-cerpen tersebut semuanya memiliki hubungan dengan tokoh yang dominan dalam cerpen-cerpen tersebut, yaitu seorang tokoh yang bernama Samin.
            Setelah dipahami ternyata cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Benny arnas ini memiliki hubungan antar cerpen yang ada di dalamnya. Sehingga seperti terdapat garis merah yang menghubungkan antar cerpen-cerpen tersebut. Cerpen yang pertama “Pengelana Mati dalam Hikayat Kami” menceritakan tentang seorang pengelana yakni Samin yang menjelajahi rimba karet Belalau, lampung atau daerah tepi Jalan Lintas Sumatera. Pembaca diajak oleh Benny Arnas agar mengenal sosok Samin yang merupakan veteran dan pria yang banyak istri pula. Seperti penggalan cerpen dibawah.
“Entah bagaimana, kau singgah di sebuah rimba karet di Belalau, daerah tepi Jalan Lintas Sumatera. Kau masuk ke dalamnya. Apakah begini tabiat seorang pengelana? Kau susuri rimbun ilalang dan rumput kanji, semak putri malu dan batang-batang buah pena yang menyerupai kerimunting merangas, dan cendawan-cendawan yang menumpang bernaung di tunggul-tunggul yang kehilangan nyawa. Kau menebas-terabas semuanya seolah kau hafal seluk beluk rimba itu, padahal paha hingga kakimu hanya dilapisi jins belel dan sepatu jelajah dari kulit buaya.” (Cerpen Pengelana Mati dalam Hikayat kami, Benny Arnas, 2014:7)
            Dalam penggalan cerpen di atas, diterangkan dengan jelas bahwa, Samin merupakan seorang veteran yang singgah dalam sebuah rimba karet yang diperjelas pula letak rimba karet tersebut yaitu di Belalau, daerah di tepi Jalan Lintas Sumatera. Tidak hanya dalam cerpen tersebut,  dalam cerpen lain dalam kumpulan cerpen itu juga telah dijelaskan letak lokasi yang terdapat dalam cerpen dengan sangat jelas dan konsisten. Seperti pula dalam kutipan cerpen “Orang Inggris” di bawah.
“Pada tanggal sembilan belas September, dua ratus tiga puluh tahun yang lalu, ia meninggalkan Benteng Marlbourg. Di waktu yang sama, aku meninggalkan Lubuklinggau menuju Jambi dengan berkuda. Di Pargarradin, kami berpapasan di semacam simpang yang membelah rimba. Kami saling melempar senyum. Keheranan menyergap ketika kudapati ia tak menunggang kuda (perasaanku mengatakan, ia akan melakukan perjalanan jauh).”(Cerpen Orang Inggris, Benny Arnas, 2014:6)
            Dijelaskan dalam kutipan cerpen tersebut bahwa latar tempat kejadian cerita tersebut berada di daerah Linggau dan Jambi. Masih banyak lagi cerpen yang di dalamnya tertera latar tempat kejadian yang konsisten dari sebagian besar cerpen dalam kumpulan cerpen Benny Arnas ini. Seperti juga kutipan cerpen di bawah.
“Pikirkanlah lagi, Mai,” ujar Samin penuh harap, “ Berita buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Uluksurung, tapi juga Pasarsatelit, Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang sedap untuk dilahap dalam pergunjingan.” (Cerpen Muslihat Hujan Panas, Benny Arnas, 2014:52)
            Dan masih banyak lagi cerpen lain yang menunjukkan eksisitensi lokalitas dalam kumpulan cerpen “ Cinta Tak Pernah Tua” oleh Benny Arnas. Secara keseluruhan kumpulan cerpen tersebut banyak menggambarkan beberapa peristiwa dengan latar tempat Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk menuangkan ide-ide kreatif dan imajinatif yang dilihat, dirasakan, dan diperhatikan dalam kehidupan nyata. Selain itu, karya sastra sebagai karya yang iamjinatif tidak hanya dipenuhi oleh ruangan yang indah-indah, memikat, tragis, menyedihkan, dan kaya akan lelucon, akan tetapi lebih dari itu karya sastra juga berusaha mengkaji dan memahami hakikat manusia ketika berhadapan dengan kehidupan sehari-hari di daerah masing-masing.

B.  Penonjolan Unsur Budaya Lubuklinggau
            Para ahli kebudayaan dalam memberikan konsep “kebudayaan” kebanyakan sangat luas dan sangat sempit. Untuk itu, Koentjaraningrat (2004:2) guna keperluan analisis konsep kebudayaan, perlu dipecahkan lagi kedalam unsur-unsur terbesar yang terjadi karena pecahan tahap pertama disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” dan merupakan unsur-unsur yang pasti dapat ditemukan dalam semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat kecil di perdesaan maupun dalam kehidupan yang kompleks di perkotaan. Unsur-unsur universal tersebut adalah sistem keagamaan dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi atau peralatan hidup.
            Dalam suatu kelompok masyarakat terdapat unsur budaya dalam kehidupan masyarakat. Agar hubungan antara manusian di dalam suatu masyarakat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang merupakan ukuran dari sikap yang dimiliki masing-masing manusia di setiap ciri khas daerah tersebut.
            Kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” akan dikaji melalui unsur budaya Lubuklinggau yang ditampilkan dalam kumpulan cerpen tersebut. Namun, tidak semua unsur-unsur budaya universal yang akan dikaji, melainkan akan mengkaji unsur-unsur kebudayaan yang hanya ada dalam kumpulan cerpen Benny Arnas meskipun tidak semua unsur-unsur kebudayaan universal ditampilkan dalam cerita.

·         Sistem Keagamaan
            Kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua”, jika dilihat dari sisi unsur sistem religinya mengungkapkan bahwa agama yang dipeluk oleh masyarakat Luklinggau yaitu agama Islam. Hal ini bisa dilihat dari kutipan cerpen dibawah ini.
     O ya, kematianmu kali ini membuat orang-orang kampung berdebat perihal tulisan yang akan diukir di nisanmu.
     Entahlah bagaimana dan siapa yang mengusulkan, keesok harinya sudah tertulis saja di nisanmu:
     Samin.
     Tanpa tanggal lahir.
     Tanpa tanggal wafat.
     Tiga ekor tupai sedang bergelayutan di ranting pohon kelor yang tumbuh dua meter dari kuburanmu.” (Cerpen Pengelana Mati dalam Hikayat Kami, Benny Arnas, 2014:11)
            Pada kutipan cerpen di atas dapat kita lihat dalam pemakaian istilah meninggal menggunakan istilah wafat, sedangkan istilah tersebut hanya dipakai oleh kalangan orang islam, sedangkan orang non islam tidak menggunakan istilah meninggal dunia dengan wafat, melainkan dengan istilah yang lain. Selain itu digunakan pula istilah batu nisan yang ditulis juga nama serta tanggal lahir dan tanggal wafat seseorang yang meninggal tersebut. Bukti lain yang menunjukkan bahwa pendduk Lubuklinggau adalah masyarakat islam yaitu seperti kutipan cerpen di bawah:
Bakda zuhur, kalian menumpang sebuah bus yang semua bangkunya sudah terisi untuk dua jam perjalanan ke depan. Sungguh, kalian tak habis pikir bagaimana orang-orang muda di dalam bus membiarkan saja dua orang tua berdiri dengan sebelah tangan berpegangan pada besi terentang di atas lorong yang membagi barisan tempat duduk. (Cerpen Gulistan, Benny Arnas, 2014:14)
            Dari kutipan di atas bisa dengan jelas diidentifikasi bahwa masyarakat memeluk agama Islam karena telah di sebutkan waktu siang hari dengan menggunakan istilah  Bakda Zuhur yaitu dari bahasa arab yang artinya sesudah sholat zuhur. Sehingga dapat dinyatakan bahwa tanpa penduduk yang memeluk agama islam, tidak akan pernah tau dan tidak akan menggunakan istilah bahasa Arab tersebut. Selain istilah tersebut ada pula istilah lain yang mendukung juga bahwa masyarakat pada kumpula cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” sebagian besar memeluk agama islah, seperti halnya kutipan di bawah:
Hingga siang Ramadhan 1993 itu pun tiba.
Di bawah rindangnya pohon merbau, kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan.
Sungguh, disaat seperti itu, sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan, kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya, ketika seorang laki-laki kurus yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara berlari ke arahnya.mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang ada di hadapannya. (Cerpen Muslihat Hujan Panas, Benny Arnas, 2014:54)
            Namun, dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” mengisahkan pula penyimpangan dari nilai-nilai atau ajaran agama Islam. Masyarakat Lubuklinggau masih ada yang menyimpang dari jalan yang lurus meskipun ada pula yang sangat tekun dalam beribadah. Nilai-nilai yang baik selalu diiringi dengan nilai-nilai yang buruk, sangat diperlukan nilai-nilai yang dapat mengontrol perbuatan kearah yang lebih baik. Kutipan yang menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan agama dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” yaitu:
“Oh Ibu, aku tahu kau takkan mencekikku walaupun, karena aibku, mulut orang-orang kampung takkan lelah memuntahkan racun ke bilik ketentramanmu. Aku tahu kau takkan melupakanku walaupun namamu telah kuusir dari ingatan sejak perpisahan sepuluh tahun lalu. Aku tahu kau takkan membunuhku walaupun demi bertahan hidup, ku tangguk rupiah dari selangkanganku...” (Cerpen Senja yang Paling Ibu, Benny Arnas, 2014:117)
            Dari kutipan di atas dapat dianalisis bahwa, dalam kumpulan cerpen Benny Arnas tersebut terdapat juga penyimpangan moral agama. Di sana terdapat penyimpangan yang berupa menjual harga diri. Hal ini sangatlah dibenci dalam agama Islam dan sangatlah dilarang dalam Islam. Jadi, dalam unsur keagamaan dalam kumpulan cerpen Benny Arnas ini memiliki nilai yang positif namun juga di sajikan pula bentuk yang negatif dari unsur budaya yang berupa unsur keagamaan ini.
·         Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup
            Sistem peralatan dan perlengkapan hidup masyarakat budaya Melayu Lubuklinggau juga terlihat dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua”, berbagai peralatan dan sebutan khusus daerah Lubuklinggau, seperti kendaraan berupa kuda, seperti kutipan di bawah ini:
Ia bagai mengendus isi kepalaku. Ia mendekati dan berkata (bukan merayu), sudikah aku memberi tumpangan.
Ah, Ia terlalu percaya diri. Aku tak terlalu menyukai lagaknya. Lagi pula, tak lazim seekor kuda ditunggangi dua orang. Ia juga orang yang baru aku kenal. Aku tak tahu apakah dia orang baik-baik atau sebaliknya. Dan belum tentu kami memiliki tujuan yang sama. (Cerpen Orang Inggris, Benny Arnas, 2014:29)
            Dilihat dari kutipan dia atas, bisa di simpulkan bahwa masyarakat Lubuklinggau pada waktu itu menggunakan kuda sebagai kendaraan sehari-hari dalam menghidupi kebutuhan hidupnya. Selain itu, alat-alat perlengkapan untuk menyadap karet dan alat-alat pertanian lainnya juga sangat penting bagi masyarakat Lubuklinggau. Mereka sangat membutuhkan perlengkapan itu ketika mereka menjalankan mata pencaharian sehari-harinya. Seperti dalam kutipan di bawah:
“Aku saja makan dari menjual hasil kebun di samping belalau, “ujar Maisarah penuh kemarahan.”Sudah lima tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdaih kalau sebentar lagi pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah menjadi kotoran kerbau baunya. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin betah tinggal di masjid karena tak pernah lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!” (Cerpen Muslihat Hujan Panas,, Benny Arnas, 2014:52-53)
            Peralatan lagi yang digunakan dalam kumpulan cerpen yaitu sebuah keranjang anyaman. Dalam cerita disebutkan bahwa keranjang anyaman ini digunakan oleh Mukhlisin sebagai tempat menyimpan hasil- hasilnya dari hutan. Seperti menyimpan bunga kecubung, cendawan, tandan pisang, jantung pisang, pakis, dan lain-lain. seperti yang telah dicuplik dari cerita di bawah:
“Kadang ia memberi cendawan yang dipungut dari tunggul-tunggul, kadang satu-dua tandan pisang, kadang jantung pisang, kadang beberapa ikat pakis yang ia petik di hutan. Dan yang ytak kadang-kadang adalah, selalu ada beberapa tangkai bunga kecubung di dalam keranjang anyaman itu. Bunga-bunga itu kerap ia tawarkan kepada orang-orang yang membeli kayu keringnya, walaupun jarang sekali ada yang mau menerimanya, selain satu dua anak perempuan yang suka pada bunga. (Cerpen Bunga Kecubung Bergaun Susu, Benny Arnas, 2014:62)
            Bagi Samin sebagai seorang veteran dia menyimpan senapan sebagai alat simpananya. Namun, dia tidak pernah mengeluarkan senjata simpanannya itu karena senjata tersebut merupakan pemberian dari sahabatnya orang inggris. Dalam cerita ia hanya mengeluarkan ketika ia sedang marah kepada istrinya dan digunakan untuk membunuh sang Istri, Salma. Seperti kutipan di bawah:
“Kau todongkan moncong senapan itu ke arah Salma. Telunjukmu menyentuh pelatuk. Dua detik kemudian, teriakan istrimu menembus langit.
Keesokan harinya kau mendapati fotomu di halaman muka koran lokal. O, pasti para tetangga telah melaporkanmu ke polisi. Ah, untung saja kau sempat melarikan diri ke sebuah pondokan tak terpakai di kmpung sebelah. Kau memang tak pernah ingin jadi buronan. Tapi, dalam keadaan seperti ini, status lebih menguntungkan daripada duduk di kursi pesakitan menunggu hakim menghukummu di persidangan.”(Cerpen Senapan Bengkok, Benny Arnas, 2014:74-75)
            Namun, senapan in i tidak semua masyarakat mempunyainya. Hanya si Saminlah seorang veteran yang menyembunyikan senapan tersebut. Sebagian besar penduduk Lubuklinggau adalah seorang petani atau pekebun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu diceritakan pula bahwa ada sebagian penduduk yang pekerjaanya membuat batu bata. Peralatan yang mereka miliki sebagian besar mereka adalah peralatan yang mendukung mereka dalam pekerjaannya sehari-hari. Dengan alat-alat tersebutlah dapat meringankan pekerjaan mereka serta membantu perekonomian mereka sehari-hari. Dilihat pula dari mata pencahariannya, Lubuklinggau merupakan daerah yang masih alami dan belum tercampur dengan daerah yang metropolitan.
·         Sistem Mata Pencaharian Hidup
            Sistem mata pencaharian hidup pada budaya Melayu Lubuklinggau yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” yang paling dominan yaitu petani karet di Lubuklinggau karet dinamakan dengan para, terdapat istilah khusus yaitu nakuk para. Selain itu terdapat keanekkaragaman pekerjaan masyarakat Lubuklinggau yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” karya Benny arnas. Selain bercocok tanam seperti petani para (karet), tukang ladang, pencari kayu bakar dan lainnya, terdapat juga profesi lain yaitu sebagai seorang veteran. Namun dalam cerita tersebut, Samin dan Mukhlisin merupakan mantan seorang veteran yang diantara mereka ada yang tidak diakui oleh Indonesia, yaitu seperti Mukhlisin. Dia sebagai seorang veteran tidak diakui oleh pemerintah. Walaupun begitu, Samin yang telah diakui dan di janjikan oleh pemerintah akan gaji tiap bulannya tetap tidak menerima hak dari apa yang dijanjikan oleh pemerintah. Seperti kutipan cerita di bawah:
“Aku saja makan dari menjual hasil kebun di samping belalau, “ujar Maisarah penuh kemarahan.”Sudah lima tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdaih kalau sebentar lagi pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah menjadi kotoran kerbau baunya. Dan sekarang, tahun 1982 beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji palsu pemerintah itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar, kau tentu makin betah tinggal di masjid karena tak pernah lagi bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!” (Cerpen Muslihat Hujan Panas,, Benny Arnas, 2014:52-53)
            Selain mata pencaharian yang disebutkan di atas, ada pula masyarakat yang profesinya sebagai seorang tukang pos. Dalam cerita telah diceritakan seperti kutipan di bawah:
“Setelah 1980-an, ketika negara sudah mengakui veteran, Didin, teman sepermainan Misral yang diterima menjadi pegawai di kantor pos Lubuklinggau, selalu menyambanginya saban awal budal. Tapi, bukan untuk mengantarkan foto atau surat dari Misral, melainkan biaya hidup yang sudah dianggarkan negara untuk bekas pejuang sepertinya.” (Cerpen Pohon Tanjung itu Cuma Sebatang,, Benny Arnas, 2014:45)
            Selain itu, tidak sedikit pula masyarakat Lubuklinggau yang berprofesi sebagai pedagang yang menjajakan dagangannya di sebuah pasar di daerah Lubuklinggau. Dan ada pula sebagian yang masih sebagai pengangguran.
·         Sistem Kemasyarakatan
            Sistem kemasyarakatan dibagi menjadi dua yaitu sistem kekerabatan dan sistem aktivitas sosial masyarakat. Pada kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” membahas mengenai sebutan kekerabatan khusus dalam masyarakat Lubuklinggau. Seperti sebutan Kek Vet, yang merupakan singkatan kakek veteran. Seperti kutipan di bawah:
“Kau sangat bangga mengenakannya. Apalagi ketika orang-orang menyapamu Kek Vet, singkatan dari Kakek Veteran, kau sangat tersanjung. (Cerpen Senapan Bengkok,, Benny Arnas, 2014:71).
            Masyarakat Lubuklinggau memanggil sebutan ibu dengan Mak dan sebutan Ayah dengan Bak. Untuk paman, mereka memanggil dengan sebutan Mang. Hal ini bisa dilihat dari kutipan cerita di bawah:
   “Yakin kau anaknya Si Mur, heh?” Mang Jali terkekeh. Diikuti Mang Amir seraya menyeruput gelas kopi keduanya. “Kalau tak percaya sama kami, kau tanyalah pada Wak Mukhlisisn yang sering cari kayu ke Bukit Sulap tu!”
   Anas melirik sekilas. Ia tahu, tukang kayu itu orang yang baik. Tak mungkin ia bersekutu dengan Mang Jali dan kawan-kawannya. Benar saja, tak berselang lama, Wak Mukhlisin meninggalkan kedai. (Cerpen Batu Bujang,, Benny Arnas, 2014:85).
            Dari segi aktivitas sosial dalam cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” ini banyak mengungkap tradisi ketika ada hajatan atau perkawinan dan kebiasaan masyarakat ketika ada salah satu masyarakat yang ingin melamar seseorang harus melihat pangkat dan derajat mereka. Seorang pemuda yang akan melamar seorang gadis yang disukainya, dia harus mempunyai pangkat yang lebih tinggi daripada derajat keluarga sang Gadis tersebut. Seperti kutipan cerita di bawah:
“Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara.” (Cerpen Belajar Setia,, Benny Arnas, 2014:95).
            Dari kutipan di atas bisa dilihat bahwa, aturan kedudukan atau derajat dalam keluarga sangatlah penting bagi mereka. Mereka dengan tegas menolak seseorang yang apabila melamar seorang gadis yang derajat keluarganya lebih tinggi daripada derajat seorang laki-laki. Mereka menilai bahwa laki-laki yang derajat keluarganya lebih rendah daripada si perempuan, tidak akan bisa menghidupi keluarganya. 

C.  Simpulan
            Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kumpulan cerpen “Cinta Tak Pernah Tua” karya Benny Arnas mengeksistensikan lokalitas dan budaya Melayu Lubuklinggau yang tercermin dari penceritaan dan perilaku tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Eksistensi lokalitas dapat dilihat dari penonjolan latar tempat dalam setiap cerpen selalu konsisten di daerah Lubuklinggau. Setiap cerpen tidak terlepas dari latar tempat Lubuklinggau, Sumatera Selatan ini.
            Sedangkan, refleksi unsur-unsur budaya dapat dilihat dari keempat unsur di atas yaitu, sistem keagamaan, sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, dan sistem kemasyarakatan, merefleksikan keadaan masyarakat Lubuklinggau, tetapi ada yang merefleksikan keadaan saat ini dan ada pula yang merefleksikan keadaan masa lampau. Tidak semua unsur universal budaya Melayu terlihat dalam kumpulan cerita ini, melainkan hanya beberapa dari unsur universal budaya tersebut.

Daftar Pustaka
Arnas, Benny. 2014. Cinta Tak Pernah Tua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Irawati, Diah. 2013. Pengertian Kebudayaan, Unsur-Unsur Kebudayaan, Wujud Kebudayaan, dan Perubahan Kebudayaan. (http://diahirawati.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-kebudayaan-unsur-unsur-kebudayaan-wujud-kebudayaan-dan-perubahan-kebudayaan.html). Diakses pada 26 Juni 2017. Pukul 11.33WIB.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.





  





No comments:

Post a Comment