Teori Subjektif: Nilai Etika dan
Estetika
dalam Syair “Perahu”
Karya Hamzah Fansuri
Tugas
Akhir Mata Kuliah
Etika
dan Estetika

Oleh
Nafisatun
Nurroh
121511133063
Kelas
A
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat-Nya, sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai.
Tidak lupa penulis mengucapakan banyak terimakasih kepada pengampu mata kuliah Etika
dan Estetika yang telah membimbing mata kuliah
Etika dan Estetika.
Harapan penulis semoga makalah dapat
memenuhi tugas yang diberikan oleh pengampu
mata kuliah ini dengan baik dan benar. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Surabaya,
08 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sastra pada
hakikatnya merupakan refleksi dari suatu pengalaman. Pengejawantahan sangat
mungkin berdasarkan pengalaman lahiriah (sensation)
atau pengalaman batiniah (re-flextion).
Kehadiran sastra dalam masyarakat sangat diperlukan dan diperhitungkan
karena karya sastra merupakan salah satu unsur dalam perubahan sosial (sosial change). Konsekuensi logis dari
pernyataan ini bahwa dalam karya sastra seringkali juga mengalami pelarangan,
pemasungan, atau pembredelan. Kekritrisan karya sastra dalam menanggapi dan
mengekspresikan perkembangan zaman dalam suatu negara, seringkali membuatnya
harus berbenturan dengan kekuasaan negara (state
power).( Manuaba, 2000: 143)
Dalam
sebuah karya sastra puisi, sering dijumpai penggambaran-penggambaran dan
permasalahan- permasalahan yang tertuang dalam puisi tersebut sesuai dengan
fenomena yang sebenarnya. Bisa berupa pemaparan, anjuran, larangan, maupun
sebuah kritikan dalam ihwal kehidupan. Semua itu karena kelihaian dan kemampuan
imaji pengarang yang tampak kongkret dalam kehidupan nyata. Seperti halnya
dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri, di dalamnya terdapat berbagai macam
kandungan yang terimplisit di dalamnya. Dalam syair tersebut terdapat nilai
etika dan estetika yang dapat kita ambil pelajaran dari kandungan tersebut.
Membahas
mengenai karya sastra akan selalu berkaitan juga dengan pengalaman sastra dan
nilai-nilai sastra. Sastra bukanlah sebatas benda sastra, tetapi nilai-nilai
sebagai respon estetik dari publik
melalui proses pengalaman sastra. Antara nilai-nilai dan pengalaman sastra
tidak bisa lepas dari konteks bahasan filsafat estetika sastra. Dalam syair
“Perahu” karya Hamzah Fansuri terdapat kandungan nilai etika dan estetika yang
dapat kita ambil sebagai contoh dalam kehidupan kita.
Namun,
dalam analisis kali ini akan menggunakan teori subjektif sebagai landasannya.
Yaitu menyatakan bahwa ciri keindahan pada suatu karya sastra sesungguhnya
tidak ada, melainkan tanggapan atau perasaan dalam diri seseorang yang
mengamati benda tersebut. Keindahan terletak dalam suatu hubungan antara benda
dengan alam pikiran seseorang, jadi sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan
ciri itu melalui penerapan pengamatan oleh pengamat. Teori ini juga bisa
disebut teori hubungan atau campuran yaitu antara objek dan subjek. Dengan
menggunakan teori tersebut akan menghasilakn nilai-nilai etika dan estetik yang
terdapat dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri tersebut.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa
kandungan makna dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri?
2. Apa
nilai etika yang terdapat dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri?
3. Apa
nilai estetika yang terkandung dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri?
1.3.Tujuan
1. Mengetahui
kandungan makna dari syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri
2. Mengetahui
nilai etika yang terdapat dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri
3. Mengetahui
nilai estetika yang terkandung dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri
BAB II
LANDASAN TEORI
Teori subjektif menyatakan bahwa ciri
yang menciptakan keindahan pada suatu benda sesungguhnya tidak ada, tetapi
ialah tanggapan, penasaran dalam diri seseorang yang mengamati benda tersebut.
Keindahan terletak dalam suatu hubungan antara benda dengan alam pikiran
sseseorang, jadi sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu melalui
pencerapan pengamatnya. Teori ini juga bisa disebut sebagai teori campuran atau
hubungan yaitu campuran dan subjektif. Secara lebih sederhana, teori estetika
subjektif ialah menekankan pada penganalisaan seseorang. Maksudnya, teori ini
menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada pengalaman manusia
mengenai nilai itu.
Lipps berpendapat bahwa keindahan perasaan subjektif atau pertimbangan
selera (die kunst ist die geflissenlinche
hervorbringung des schones). Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi
mempunyai tempat yang terpenting dalam estetika karena sifatnya yang makna
ganda untuk menyebut berbagai hal, bersifat longgar untuk di muati macam-macam
ciri dan juga subjektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu
yang kebetulan menyenangkan. Dan penilaian tersebut tergantung pada pribadi
pengamat masing-masing.
Teori subjektif yang dikemukakan
oleh Herbert Read menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan suatu
benda itu tidak ada, yang ada hanya perasaan dalam diri seseorang yang
mengamati suatu benda. Teori subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyatakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah
tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya
keindahan semata-mata tergantung pada panca indra pencerapan dari si pengamat
itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini
diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis
sebagai tanggapan terhadap benda itu.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kandungan Makna Syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri
Lirik syair
“Perahu” karya Hamzah Fansuri:
Perahu
Inilah gerangan suatu madah
membetuli jalam tempat berpindah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikad diperbetuli
sudah
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah beberapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Hai pemuda arif budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membeli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu.
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ
Muaranya diam, ikannyapun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti ombak
ke atas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karam
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.
Muaranya itu terlalu sempit,
di manakah lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id
Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh
Lengkapkan pendapat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
la ilaha illAllahu akan tali yang
teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illAllahu jua yang engkau
ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut silam terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyela
larang mendapat permata nilam.
Laut Silam Wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok
sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna
musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam,
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh,
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu
berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungNya]
iman Allah nama kemudidnya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“taharat dan istija” nama
lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
Tawakkul akan Allah jurubatunya
Tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“WAllahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama badannya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama
negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat
berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur,
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah di susahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
munkar wa nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau
sembahyang
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)
Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.
Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur terlentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illahu itulah firman,
tuhan itulah pergantungan alam
sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.
La ilaha illahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.
La ilaha illAllahu itu janganlah
kau permudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan la ilaha
illAllahu.
La ilaha illAllahu itu jangan kau
lalaikan,
siang dan malam jangan kau
sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang
menyampaikan.
La ilaha illAllahu itu kata yang
teguh,
memadamkan cahaya seklian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia
bersungguh-sungguh
La ilaha illAllahu itu tempat
mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.
La ilaha illAllahu itu tempat
musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan tuhan selalu susah.
Syair
“Perahu” di atas mengandung makna bahwa:
Syair
“Perahu” melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut.
Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha
illallah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan
hambaNya. Syair di atas merupakan simbolisasi manusia dalam menuju Tuhan. Penyair
mengibaratkan dengan perjalanan di tengah lautan yang bekal utamanya tdak lain
hanya keyakinan kepada Tuhan. Di sini jelas di gambarkan bahwa pertemuan hamba
dan Tuhan itu sangat susah. Syair perahu menekankan perjuangan yang
sungguh-sungguh untuk mencapai kepada Tuhan.
Pada
bait pertama, penulis ingin memberitahukan kepada para pembacanya bahwa ia akan
menuliskan syair yang menggunakan bahasa-bahasa yang indah dan penuh dengan
nilai-nilai estetika yang tinggi. maksud dan tujuan menulis syair adalah untuk
memperbaiki i’tikat ummat muslim. Pada bait kedua, kehidupan ini hanya bersifat
sementara saja dan semua manusia suatu saat akan menuju ke alam yang bersifat
kekal. Seseorang manusia yang hidup di dunia inibagaikan sebuah perahu yang
berlayar di tengah lautan yang luas. Pelayaran ini tentunya akan menuju sebuah
tempat yaitu alam akhirat.
Pada
bait ketiga, hidup harus berlandaskan pedoman yang sudah ada. Pedoman-pedoman
itu dijadikan panduan dalam kehidupan sehingga masyarakat hidup bersatu dan
hidup dalam kelompok masyarakat yang damai. Pada bait keempat dan kelima, betapa
pentingnya pembekalan selama dalam pelayaran di lautan yang luas. Ini bermakna bahwa
manusia wajib membekali dirinya dengan berbagai keperluan atau kebutuhan
nantinya di tempat yang akan di tuju. Adapun pembekalan yang dimaksudkan di
sini adalah seluruh amal perbuatan yang baik yang pada akhirnya membuat manusia
menjadi taqwa.
Pada
bait keenam, hidup ini penuh dengan berbagai tantangan yang hanya menunggu
kesempatan untuk menantang hidup manusia. Pada bait ketujuh,
tentangan-tantangan yang hebat dapat melemahkan iman dan pegangan manusia. Pada
bait kedelapan, ombak dan ikan yang dimaksudkan oleh penulis adalah tantangan.
Jika seseorang itu tidak teguh pendirian atau tidak tahan dengan tantangan, ia
bisa mengalahkan manusia. Dan sebagian keseluruhan dari bait tersebut
menjelaskan perjalanan hidup manusia menuju kehidupan yang abadi yang sangat
membutuhkan usaha dan pedoman yang kuat serta hidup harus memiliki pedoman
hidup agar dapat memperbaiki diri.
3.2 Nilai Etika yang Terdapat dalam Syair “Perahu” Karya Hamzah Fansuri
Analisis aspek
etika dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri lebih menitik beratkan pada
hal-hal yang berhubungan dengan moral tingkah laku manusia. Berikut aspek-aspek
etika (moral) dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri.
1.
Nilai
Moral Agama
Nilai moral
agama dapat dilihat dalam syair “Perahu” buah karya Hamzah Fansuri ini yaitu, sebuah
tuntunan bagi manusia mengenai hakikat hidup yang benar. Di sini berisi sebuah
petuah dan tuntunan manusia agar menjalani kehidupan dengan jalan yang benar
agar kelak mendapat tempat yang layak pula. Terkhusus dalam syair Hamzah
Fansuri ini merupakan sebuah pedoman untuk kalangan muslim. Dalam syair
tersebut bisa dilihat dalam penggunaan bahasa arab dalam syair. Hamzah Fansuri
mengibaratkan dengan perjalanan di tengah lautan yang bekal utamanya tidak lain
hanya keyakinan kepada Tuhan. Karena jika manusia kuat memegang keyakinan la
ilaha illallah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan
dan hambaNya.
Dijelaskan
pula dalam syair bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara dan yang kekal dan
abadi adalah kehidupan di akhirat nanti. Hamzah Fansuri juga mengatakan dalan
syairnya bahwa manusia wajib membekali dirinya dengan berbagai keperluan atau
kebutuhan yang nantinya akan menjadikan diri mereka masing-masing menjadi taqwa
yaitu menjauhi larangan Allah dan melaksanakan semua perintah Allah. Serta
menjelaskan pula perjalanan hidup manusia menuju kehidupan yang abadi yang
sangat membutuhkan usaha dan pedoman yang kuat serta hidup harus memiliki
pedoman hidup agar dapat memperbaiki diri. Sehingga moral-moral agama sangatlah
menonjol dalam syair tersebut.
2.
Nilai
Moral Solidaritas Sosial
Nilai
moral solidaritas sosial dalam syair “Perahu” karya Hamzah Fansuri dapat
dilihat dari syair-syair yang menyatakan tentang cara hidup yang berada di
jalan yang benar. Dalam syair dijelaskan bahwa hidup sangatlah membutuhkan
bekal, termasuk di dalamnya yaitu berupa amalan-amalan yang baik. Ketika kita mencermati
kata “amalan-amalan baik” dalam pikiran kita pasti akan merujuk amalan kepada
sesama kita. Kita harus menjaga hubungan sosial kita dengan sesama selalu baik
dan bukan justru merusak hubungan kita kepada sesamanya.
Sebagai
tambahan bekal kita, kita harus memperbanyak perilaku kita agar selalu bersikap
terpuji. Tidak hanya kita yang menerima, namun kita juga yang harus memberi dan
melakukan perilaku tersebut sebagai tabungan kelak di hari akhir. Dengan
memelihara tali silaturahmi dengan sesama, hidup kita di dunia akan terasa
lebih menambah kebaikan untuk menghadapi masa depan yaitu di akhirat. Dengan hubungan kita yang baik terhadap
sesama, mendapatkan amalan kebaikanpun menjadi lebih ringan dan mudah. Namun, dalam memelihara tali persaudaraan kita
serta menciptakan hubungan yang baik, kita juga harus mempunyai pedoman yang
kuat sebagai ilmunya. Tanpa ilmu perbuatan kita tidak berarti apa-apa karena
dalamagama Islam telah dijelaskan secara mendetail bagaimana cara menjalani
kehidupan yang baik dan benar.
3.3 Nilai Estetika yang Terkandung dalam Syair “Perahu” Karya Hamzah Fansuri
Nilai estetika
atau unsur keindahan yang ada dalam syair “Perahu” buah karya Hamzah Fansuri
merupakan sesuatu yang membuat syair tersebut menjadi lebih indah, lebih hidup,
dan lebih menarik. Bentuk dari nilai estetika dalam analisis ini adalah berupa
untaian kata-kata yang ditulis oleh Hamzah Fansuri yang menurut penulis
memiliki keindahan dan membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Jalinan atau
untaian kata-kata yang indah dapat dilihat pada tiap bait dalam syair Hamzah
Fansuri tersebut.
Dalam
syair ini juga memakai kata-kata kiasan untuk melambangkan makna yang
sebenarnya. Dalam syair tersebut, menjalani kehidupan diibaratkan bagaikan
seseorang yang sedang berlayar. Dalam kehidupan ytersebut terdapat tidak
sedikit ekali cobaan yang dalam syair tersebut juga diumpamakan sebagi ombak
dan halangan-halangan lainnya. Dalam kehidupan kita membutukan sekali pedoman
yang kuat sebagai pengatur semua perilaku kita, dalam syair inipun juga
dilambangkan sebagai suatu bekal untuk berlayar dan semua peralatan-peralatan
yang sangat membantu dan dibutuhkan dalam pelyaran tersebut.
Sehingga
kata-kata yang tertulis dalam syair Hamzah Fansuri bukan hanyalah suatu tulisan
yang hanya sebagai keindahan saja, melainkan di dalamnya terdapat banyak sekali
faidah-faidah yang dapat kita ambil sebagai pedoman dalam menjalani hidup dari
dunia yang bersifat sementara ini hingga menuju kehidupan yang kekal yaitu di
akhirat nanti. Selain itu syair tersebut juga memiliki sajak yang sangat
mendukung irama dan keindahan dalan syair tersebut.
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
Dari pembahasan
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, Syair “Perahu” melambangkan tubuh
manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya.
Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illallah, maka dapat dicapai
tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hambaNya. Syair tersebut
merupakan simbolisasi manusia dalam menuju Tuhan. Penyair mengibaratkan dengan
perjalanan di tengah lautan yang bekal utamanya tidak lain hanya keyakinan
kepada Tuhan. Di sini jelas di gambarkan bahwa pertemuan hamba dan Tuhan itu
sangat susah. Syair perahu menekankan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk
mencapai kepada Tuhan.
Selain
mengandung makna yang begitu dalam, syair tersebut juga mengandung nilai etika
dan estetika yang tercantum di dalamnya. Nilai etika yang terkandung yaitu
nilai moral agama serta nilai solidaritas sosial. Sedangkan estetika yang
termuat yaitu berupa perlambangan dalam mengkiaskan makna yang terkandung
didalamnya. Selain itu juga mengandung irama yang sangat serasi dan unik
sehingga mendukung nilai estetika dalam syair tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kartika, dharsonosony. 2007. ESTETIKA. Bandung: Rekayasa sains.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: gajah Mada University Press.
Sachari, Agus. 2002. Estetika: Makna, Simbol, dan Daya. Bandung:
Penerbit ITB.
Susanto,
Herman. 2014. Estetika (Teori Subjektif
dan Objektif).
(http://hermansusantogamasera.blogspot.com/2014/04/estetika-teori
-subjektif-dan-objektif.html?). Diakses pada 08 juli 2017. Pukul 20.34 WIB.
Suyitno.
1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis.
Yogyakarta: Hanindita.
Waluyo,
Hadi. 2013. Syair Perahu Hamzah Fansuri. (http://hadiwaluyo.blogspot.com/2013/05/syair-perahu-hamzah-fansuri.html?).
Diakses pada 05 Juli 2017. Pukul 11.06 WIB.
Zainuddin,
Fananie. 2001. Telaah Sastra.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
No comments:
Post a Comment