KONSUMSI
SEBAGAI WUJUD FENOMENA
BUDAYA
URBAN DI PERKOTAAN
Mata Kuliah
Pengantar Kajian Budaya Urban

Oleh :
Nafisatun Nurroh
121511133063
Kelas A-1
SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
KONSUMSI
SEBAGAI WUJUD FENOMENA
BUDAYA
URBAN DI PERKOTAAN
Konsumsi
muncul sebagai sebuah perhatian budaya
pada akhir 1950-an dalam perdebatan mengenai perkembangan “masyarakat
konsumen”. Ia kemudian mencadi sangat tampat di dalam cultural studies pada
1970-an di dalam karya mengenai bagaimana pelbagai subkultur alternatif dan
oposisional. Baru-baru ini, konsumsi bisa ditemukan dalam pelbagai studi
tentang belanja sebagai bentuk budaya pop. konsumsi
adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau jasa
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan
manusia memakai dan menikmati guna barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Konsumsi
adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau jasa
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan
manusia memakai dan menikmati guna barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sedangkan tujuan dari
konsumsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara langsung, penggunaan
terhadap barang atau jasa diluar tujuan tersebut tentunya tidak termasuk
sebagai kegiatan konsumsi. Contoh yang Bukan termasuk kedalam kegiatan konsumsi
misalnya seperti: seorang sopir angkutan yang mengangkut penumpang setiap pagi
sampai siang hari, hal seperti ini termasuk kedalam kegiatan produksi bukan
konsumsi.
Analisis budaya perihal konsumsi bermula dari perhatian politik
marxisme. Untuk memahami pandangan marxis klasik mengenai konsumsi, kita harus
mengetahui sesuatu perihal bagaiman ia memahami perbedaan antara formasi sosial
kapitalis dan prakapitalis. Masyarakat prakapitalis bukanlah masyarakat
konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera dan
ditukar dengan barang-barang lain. Hanya sesudah runtuhnya feodalisme dan
munculnya kapitalismelah, sebuah sistem yang didasarkan pada pasar, pada uang
dan keuntungan, konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana
dan muncul sebagai suatu aspek penting dari aktivitas manusia.
Bagi
Karl Mark dan Frederick, transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu
transisi dari produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Selain iyu, di dalam
masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah.
Mereka tidak memiliki barang-barang itu, barang-barang itu dijual di pasar
dengan perolehan keuntungan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang-barang,
para buruh harus membelinya dengan uang. Jadi para pekerja menjadi konsumen dan
kita menyaksikan munculnya masyarakat konsumen. Orang-orang wajib mengonsumsi
untuk memastikan perolehan keuntungan. Oleh karena itu, konsumsi secara artifikial
distimulasi oleh iklan.
Laki-laki
dan perempuan adalah identitas yang disangkal dalam produksi dan karenanya
dipaksa untuk mencari identitas di dalam konsumsi. Namun, ini selalu selalu
lebih dari sekedar sebuah pengganti yang palsu. Selain itu, proses tersebut
didorong oleh apa yang disebut ideology konsumerisme sugesti bahwa makna
kehidupan kita harus kita temukan pada pa yang kita konsumsi, bukan pada apa
yang kita hasilkan. Jadi, ideology tersebut melegitiminasi dan mendorong
perhatian terhadap pengerukan keuntungan oleh kapitalisme yaitu sebuah sisitem
yang menuntut konsumsi yang senantiasa meningkat terhadap barang-barang.
Seperti sang saat ini terjadi di beberapa perkotaan.
Ideologi
konsumerisme bisa di;lihat sebagai salah satu strategi pengalihan, salah satu
contoh mengenai pencarian yang tiada akhir, pergerakan hasrat metonimik yang
tak ada habisnya. Sugesti yang dibuat oleh masyarakat sendiri adalah konsumsi
merupakan jawaban dari semua problem yang kita hadapi. Konsumsi bakal membuat
kita utuh lagi, konsumsi akan membuat kita lengkap lagi, konsumsi akan
mengembalikan kita pada kondisi imajiner yang diliputi kebahagiaan. Dengan
apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan identitas kita pada khalayak umum.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas-kelas yang berbeda memiliki gaya hidup yang
berbeda, selera-selera yang berbeda dalam budaya, dan lain-lain. Dari mengamati
proses yang dengannya membentuk suatu perbedaan-perbedaan budaya mengamankan
dan melegitimasi bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang akhirnya berakar
pada ketidakadilan ekonomi.
Meskipun
aturan kelas pada akhirnya bersifat ekonomi, bentuk yang diambil bersifat
kultural, dan bahwa perbedaan kultural, pembentukan, penandaan, dan
pemeliharaan perbedaan budaya adalah kunci untuk memahami hal itu. Jadi, sumber
perbedaan itu secara simbolik bergeser dari medan ekonomi ke medan budaya, yang
menciptakan kekuasaan jdai tampak sebagai hasil dari pembedaan budaya. Dengan
cara ini, produksi dan reproduksi ruang budaya menghasilkan dan mereproduksi
ruang sosial dan perbedaan kelas.
Berbelanja
merupakan aktivitas yang kompleks. Kita mungkin mengunjungi sebuah pusat
perbelanjaan untuk pelbagai macam alasan yang berbeda dan kerap kali
bertentangan. Kita mungkin pergi untuk membeli hadiah special atau
melihat-lihat atau dilihat. Terdapat praktik-praktik yang berbeda dalam
menggunakan suatu pusat perbelanjaan pada suatu hari, sejumlah orang bisa ada
di sana sekali seumur hidup mereka, namun terdapat pengguna-pengguna yang
ssesekali memilih pusat perbelanjaan itu dan bukan untuk alasan-alasan khusus
tetapi cukup manasuka saja. Orang mungkin belanja di satu pusat perbelanjaan
dan pergi ke pusat perbelanjaan lainnya untuk bersosialisasi atau
berkeliling-keliling namun tidak melupakan untuk mengonsumsi barang-barang ayng
ditawarkan disana.
Konsumsi
selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi, mengonsumsi produk atau
menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material. Konsumsi
juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas, dan komunikasi. Di pasar,
orang menemukan intensif dan kemungkinan tak semata-mata karena pembatasan
mereka sendiri, tetapi juga karena perkembangan dan pertumbuhan mereka sendiri.
Meskipun mereka dijungkirbalikkan, teralienasi, dan bekerja melalui eksploitasi
pada setiap saat, insentif dan kemungkinan ini menjanjikan lebih dari setiap
alternatif yang mungkin. Pasar tidak hanya menyediakan pemberdayaan cultural di
dalam apa pun seperti pemahaman penuh, tetapi terdapat pilihan-pilihan yng
bukan pilihan diatas pilihan kekuasaan untuk mendesain agenda budaya. Walaupun
begitu, pasar menawarkan suatu pemberdayaan kontradiktif yang belum pernah
ditawarkan di tempat lain. Mungkin itu bukan cara terbaik bagi emansipasi
cultural untuk mayoritas, tetapi itu bisa jadi membuka jalan bagi sebuah cara
yang lebih baik.
Dalam
konteks kehidupan kota, selain dipengaruhi oleh kepribadian konsumen, perilaku
konsumen juga dipengaruhi oleh lingkungan perkotaan dan media massa. Lingkungan
perkotaan yang dimaksud adalah semakin banyak munculnya pusat-pusat
perbelanjaan modern para pengunjung cenderung dibimbing untuk membeli sesuatu
setelah melihat dan tertarik pada produk tertentu, sehingga seseorang akan
memutuskan untuk membeli setelah dia berinteraksi dengan produk barang yang
dipamerkan memang mendorong orang yang membeli. Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan
modern telah terjadi di kota-kota metropolitan, seperti: Jakarta, Surabaya,
Bandung, semarang, Makasar, Medan, termasuk Palembang. Kehadiran berbagai pusat
perbelanjaan mulai dari kelas local, nasional, sampai kelas internasional tidak
saja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja, tetapi juga
berdampak pada perubahan perilaku konsumen keluarga dan masyarakat perkotaan.
Perubahan
budaya konsumen ini merupakan suatu konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan
yang dipicu oleh lingkungan perkotaan yang menyediakan sarana perbelanjaan
kelas modern. Hal ini tentunya akan mendorong orang untuk pergi ke pusat-pusat
perbelanjaan dan perilaku mereka cenderung membeli barang-barang sesuai
keinginan. Selain itu, media massa baik cetak maupun elektronik, terutama iklan
di televisi telah membentuk perilaku konsumen seseorang untuk membeli produk.
Iklan telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat, yang dapat membentuk
pengetahuan dan pengalamannya untuk berbelanja ke pusat-pusat perbelanjaan.
Interaksi antara seseorang dalam media iklan dapat mempengaruhi perilaku
konsumen sebelum memutuskan untuk memilih dan membeli produk.
Bagi
sebagian masyarakat yang berpenghasilan cukup atau lebih, mengubah perilaku
konsumen tidak begitu berdampak pada kualitas kehidupannya. Namun bagi keluarga
dan anggota masyarakat yang berpenghasilan cukup bahkan rendah, perubahan
perilaku dapat berdampak pada pemaksaan kehendak untuk membeli produk yang
belum tentu tepat sasaran dan bermanfaat. Fenomena seperti ini konsumen justru
mementingkan kebutuhan sekunder seperti membeli pulsa telepon, ketimbang
memenuhi kebutuhan dasar untuk keluarganya. Hal ini tentunya akan berdampak
pada mutu dan kualitas kehidupan keluarga jika perilaku konsumen tidak
dikendalikan. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari perubahan gaya hidup
masyarakat global yang mempengaruhi kehidupan masyarakat perkotaan.
Gaya
hidup sutau masyarkat akan berbeda dengan masyarakat lainnya. Bahkan dari masa
ke masa gaya hidup suatu individu dan kelompok masyarakat tertentu akan
bergerak dinamis. Namun demikian gaya hidup tidak akan cepat berubah sehingga
pada kurun waktu tertentu gaya hidup relative permanen. Perubahan gaya hidup
masyarakat perkotaan tidak bisa dilepaskan dari kehadiran pusat-pusat perbelanjaan
modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan dilambangi dengan lahirnya
pusat-pusat perbelanjaan. Istana yang berlimpah barang ini menawarkan kebebasan
kebebasan baru dan kesempatan untuk kegemaran. Belanja ditransformasikan dari
persediaan kebutuhan atau negoisasi terhadap kepemilikan baru. Pusat-pusat
perbelanjaan merupakan unsure-unsur paling nyata dalam transformsi pusat-pusat
metropolitan yang menawarkan kesempatan baru bagi para pelanggan. Dipusat-pusat
perbelanjaan, masyarakat akan dibimbing oleh suatu pola konsumtif yang
sistematis, dan ini memangsudah dipelajari dari sikap dan gaya hidup masyarakat
melalui berbagai penelitian mendalam dan dalam waktu yang panjang.
Oleh
karena itu budaya konsumen masyarakat perkotaan tidak saja sebagai produk
perilaku ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya yang lahir dari suatu
tatanan sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme. Dalam kebudayaan
konsumen, konsumsi tidak lagi bersifat fungsional, yaitu pemenuhan kebutuhan
dasar manusia. Kini lebih dari itu, konsumsi dalam pengertian yang sesungguhnya
mengekspresikan posisi dan identitas seseorang di dunia. Konsumsi pada
masyarakat ini, bukan lagi sesuatu mendasar nilai guna, nilai pakai, tetapi
sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol. Di sini
kemudian citra image menjadi cukup sangat penting.
Budaya
konsumerisme mengakibatkan orang boros, tidak produktif, dan hanya memberikan
kesadaran palsu keoada masyarakat. Budaya ini hanya menghargai orang dari
sebanyak apa dia mengeluarkan uang untuk mengonsumsi. Semakin banyak dan
prestisius barang yang dibeli seseorang, semakin ia akan dihargai. Dalam budaya
kita, konsumerisme akan mengakibatkan orang terjebak dalam kehidupan yang tidak
seimbang atau disebut dengan “lebih besar pasak daripada tiang”.
Kesimpulan
Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan
menggunakan manfaat dari barang atau jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan manusia memakai dan menikmati guna barang
ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan dari konsumsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan
hidup secara langsung. Perubahan budaya konsumen ini merupakan suatu
konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan yang dipicu oleh lingkungan perkotaan
yang menyediakan sarana perbelanjaan kelas modern. Hal ini tentunya akan
mendorong orang untuk pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dan perilaku mereka
cenderung membeli barang-barang sesuai keinginan.
Oleh
karena itu budaya konsumen masyarakat perkotaan tidak saja sebagai produk
perilaku ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya yang lahir dari suatu
tatanan sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme. Dalam kebudayaan
konsumen, konsumsi tidak lagi bersifat fungsional, yaitu pemenuhan kebutuhan
dasar manusia. Kini lebih dari itu, konsumsi dalam pengertian yang sesungguhnya
mengekspresikan posisi dan identitas seseorang di dunia. Konsumsi pada
masyarakat ini, bukan lagi sesuatu mendasar nilai guna, nilai pakai, tetapi
sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol
DAFTAR
PUSTAKA
Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan.( Majalah Empirika, Volume
XI, No. 01.2007). Diakses pada 29 desember 2016. Pukul 12.04 WIB.
Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan
Konseptual, Dan Isu Menuju Study Budaya Kapitalisme Lanjut. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rifdo. 2012. Teori Konsumsi.(https://rifdoisme.wordpress.com/2012/09/19/teori-konsumsi/).
Diakses pada 29 desember 2016. Pukul 11.14 WIB.
No comments:
Post a Comment