Sunday, November 19, 2017

KONSUMSI SEBAGAI WUJUD FENOMENA BUDAYA URBAN DI PERKOTAAN



KONSUMSI SEBAGAI WUJUD FENOMENA
BUDAYA URBAN DI PERKOTAAN

Mata Kuliah
Pengantar Kajian Budaya Urban

Oleh :
Nafisatun Nurroh
121511133063
Kelas A-1

SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
    2017
KONSUMSI SEBAGAI WUJUD FENOMENA
BUDAYA URBAN DI PERKOTAAN
      Konsumsi muncul sebagai sebuah  perhatian budaya pada akhir 1950-an dalam perdebatan mengenai perkembangan “masyarakat konsumen”. Ia kemudian mencadi sangat tampat di dalam cultural studies pada 1970-an di dalam karya mengenai bagaimana pelbagai subkultur alternatif dan oposisional. Baru-baru ini, konsumsi bisa ditemukan dalam pelbagai studi tentang belanja sebagai bentuk budaya pop.  konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan manusia memakai dan menikmati guna barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan manusia memakai dan menikmati guna barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan dari konsumsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara langsung, penggunaan terhadap barang atau jasa diluar tujuan tersebut tentunya tidak termasuk sebagai kegiatan konsumsi. Contoh yang Bukan termasuk kedalam kegiatan konsumsi misalnya seperti: seorang sopir angkutan yang mengangkut penumpang setiap pagi sampai siang hari, hal seperti ini termasuk kedalam kegiatan produksi bukan konsumsi.
      Analisis budaya perihal konsumsi bermula dari perhatian politik marxisme. Untuk memahami pandangan marxis klasik mengenai konsumsi, kita harus mengetahui sesuatu perihal bagaiman ia memahami perbedaan antara formasi sosial kapitalis dan prakapitalis. Masyarakat prakapitalis bukanlah masyarakat konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera dan ditukar dengan barang-barang lain. Hanya sesudah runtuhnya feodalisme dan munculnya kapitalismelah, sebuah sistem yang didasarkan pada pasar, pada uang dan keuntungan, konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana dan muncul sebagai suatu aspek penting dari aktivitas manusia.
      Bagi Karl Mark dan Frederick, transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Selain iyu, di dalam masyarakat kapitalis, para buruh membuat barang-barang demi mendapatkan upah. Mereka tidak memiliki barang-barang itu, barang-barang itu dijual di pasar dengan perolehan keuntungan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan barang-barang, para buruh harus membelinya dengan uang. Jadi para pekerja menjadi konsumen dan kita menyaksikan munculnya masyarakat konsumen. Orang-orang wajib mengonsumsi untuk memastikan perolehan keuntungan. Oleh karena itu, konsumsi secara artifikial distimulasi oleh iklan.
      Laki-laki dan perempuan adalah identitas yang disangkal dalam produksi dan karenanya dipaksa untuk mencari identitas di dalam konsumsi. Namun, ini selalu selalu lebih dari sekedar sebuah pengganti yang palsu. Selain itu, proses tersebut didorong oleh apa yang disebut ideology konsumerisme sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada pa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Jadi, ideology tersebut melegitiminasi dan mendorong perhatian terhadap pengerukan keuntungan oleh kapitalisme yaitu sebuah sisitem yang menuntut konsumsi yang senantiasa meningkat terhadap barang-barang. Seperti sang saat ini terjadi di beberapa perkotaan.
      Ideologi konsumerisme bisa di;lihat sebagai salah satu strategi pengalihan, salah satu contoh mengenai pencarian yang tiada akhir, pergerakan hasrat metonimik yang tak ada habisnya. Sugesti yang dibuat oleh masyarakat sendiri adalah konsumsi merupakan jawaban dari semua problem yang kita hadapi. Konsumsi bakal membuat kita utuh lagi, konsumsi akan membuat kita lengkap lagi, konsumsi akan mengembalikan kita pada kondisi imajiner yang diliputi kebahagiaan. Dengan apapun yang kita konsumsi akan menunjukkan identitas kita pada khalayak umum. Hal ini menunjukkan bahwa kelas-kelas yang berbeda memiliki gaya hidup yang berbeda, selera-selera yang berbeda dalam budaya, dan lain-lain. Dari mengamati proses yang dengannya membentuk suatu perbedaan-perbedaan budaya mengamankan dan melegitimasi bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang akhirnya berakar pada ketidakadilan ekonomi.
      Meskipun aturan kelas pada akhirnya bersifat ekonomi, bentuk yang diambil bersifat kultural, dan bahwa perbedaan kultural, pembentukan, penandaan, dan pemeliharaan perbedaan budaya adalah kunci untuk memahami hal itu. Jadi, sumber perbedaan itu secara simbolik bergeser dari medan ekonomi ke medan budaya, yang menciptakan kekuasaan jdai tampak sebagai hasil dari pembedaan budaya. Dengan cara ini, produksi dan reproduksi ruang budaya menghasilkan dan mereproduksi ruang sosial dan perbedaan kelas.
     
      Berbelanja merupakan aktivitas yang kompleks. Kita mungkin mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan untuk pelbagai macam alasan yang berbeda dan kerap kali bertentangan. Kita mungkin pergi untuk membeli hadiah special atau melihat-lihat atau dilihat. Terdapat praktik-praktik yang berbeda dalam menggunakan suatu pusat perbelanjaan pada suatu hari, sejumlah orang bisa ada di sana sekali seumur hidup mereka, namun terdapat pengguna-pengguna yang ssesekali memilih pusat perbelanjaan itu dan bukan untuk alasan-alasan khusus tetapi cukup manasuka saja. Orang mungkin belanja di satu pusat perbelanjaan dan pergi ke pusat perbelanjaan lainnya untuk bersosialisasi atau berkeliling-keliling namun tidak melupakan untuk mengonsumsi barang-barang ayng ditawarkan disana.
      Konsumsi selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi, mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material. Konsumsi juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas, dan komunikasi. Di pasar, orang menemukan intensif dan kemungkinan tak semata-mata karena pembatasan mereka sendiri, tetapi juga karena perkembangan dan pertumbuhan mereka sendiri. Meskipun mereka dijungkirbalikkan, teralienasi, dan bekerja melalui eksploitasi pada setiap saat, insentif dan kemungkinan ini menjanjikan lebih dari setiap alternatif yang mungkin. Pasar tidak hanya menyediakan pemberdayaan cultural di dalam apa pun seperti pemahaman penuh, tetapi terdapat pilihan-pilihan yng bukan pilihan diatas pilihan kekuasaan untuk mendesain agenda budaya. Walaupun begitu, pasar menawarkan suatu pemberdayaan kontradiktif yang belum pernah ditawarkan di tempat lain. Mungkin itu bukan cara terbaik bagi emansipasi cultural untuk mayoritas, tetapi itu bisa jadi membuka jalan bagi sebuah cara yang lebih baik.
      Dalam konteks kehidupan kota, selain dipengaruhi oleh kepribadian konsumen, perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh lingkungan perkotaan dan media massa. Lingkungan perkotaan yang dimaksud adalah semakin banyak munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern para pengunjung cenderung dibimbing untuk membeli sesuatu setelah melihat dan tertarik pada produk tertentu, sehingga seseorang akan memutuskan untuk membeli setelah dia berinteraksi dengan produk barang yang dipamerkan memang mendorong orang yang membeli. Fenomena pertumbuhan pusat perbelanjaan modern telah terjadi di kota-kota metropolitan, seperti: Jakarta, Surabaya, Bandung, semarang, Makasar, Medan, termasuk Palembang. Kehadiran berbagai pusat perbelanjaan mulai dari kelas local, nasional, sampai kelas internasional tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja, tetapi juga berdampak pada perubahan perilaku konsumen keluarga dan masyarakat perkotaan.
      Perubahan budaya konsumen ini merupakan suatu konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan yang dipicu oleh lingkungan perkotaan yang menyediakan sarana perbelanjaan kelas modern. Hal ini tentunya akan mendorong orang untuk pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dan perilaku mereka cenderung membeli barang-barang sesuai keinginan. Selain itu, media massa baik cetak maupun elektronik, terutama iklan di televisi telah membentuk perilaku konsumen seseorang untuk membeli produk. Iklan telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat, yang dapat membentuk pengetahuan dan pengalamannya untuk berbelanja ke pusat-pusat perbelanjaan. Interaksi antara seseorang dalam media iklan dapat mempengaruhi perilaku konsumen sebelum memutuskan untuk memilih dan membeli produk.
      Bagi sebagian masyarakat yang berpenghasilan cukup atau lebih, mengubah perilaku konsumen tidak begitu berdampak pada kualitas kehidupannya. Namun bagi keluarga dan anggota masyarakat yang berpenghasilan cukup bahkan rendah, perubahan perilaku dapat berdampak pada pemaksaan kehendak untuk membeli produk yang belum tentu tepat sasaran dan bermanfaat. Fenomena seperti ini konsumen justru mementingkan kebutuhan sekunder seperti membeli pulsa telepon, ketimbang memenuhi kebutuhan dasar untuk keluarganya. Hal ini tentunya akan berdampak pada mutu dan kualitas kehidupan keluarga jika perilaku konsumen tidak dikendalikan. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari perubahan gaya hidup masyarakat global yang mempengaruhi kehidupan masyarakat perkotaan.
      Gaya hidup sutau masyarkat akan berbeda dengan masyarakat lainnya. Bahkan dari masa ke masa gaya hidup suatu individu dan kelompok masyarakat tertentu akan bergerak dinamis. Namun demikian gaya hidup tidak akan cepat berubah sehingga pada kurun waktu tertentu gaya hidup relative permanen. Perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan tidak bisa dilepaskan dari kehadiran pusat-pusat perbelanjaan modern. Era baru budaya konsumen ditandai dan dilambangi dengan lahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Istana yang berlimpah barang ini menawarkan kebebasan kebebasan baru dan kesempatan untuk kegemaran. Belanja ditransformasikan dari persediaan kebutuhan atau negoisasi terhadap kepemilikan baru. Pusat-pusat perbelanjaan merupakan unsure-unsur paling nyata dalam transformsi pusat-pusat metropolitan yang menawarkan kesempatan baru bagi para pelanggan. Dipusat-pusat perbelanjaan, masyarakat akan dibimbing oleh suatu pola konsumtif yang sistematis, dan ini memangsudah dipelajari dari sikap dan gaya hidup masyarakat melalui berbagai penelitian mendalam dan dalam waktu yang panjang.
      Oleh karena itu budaya konsumen masyarakat perkotaan tidak saja sebagai produk perilaku ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya yang lahir dari suatu tatanan sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme. Dalam kebudayaan konsumen, konsumsi tidak lagi bersifat fungsional, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kini lebih dari itu, konsumsi dalam pengertian yang sesungguhnya mengekspresikan posisi dan identitas seseorang di dunia. Konsumsi pada masyarakat ini, bukan lagi sesuatu mendasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra image menjadi cukup sangat penting.
      Budaya konsumerisme mengakibatkan orang boros, tidak produktif, dan hanya memberikan kesadaran palsu keoada masyarakat. Budaya ini hanya menghargai orang dari sebanyak apa dia mengeluarkan uang untuk mengonsumsi. Semakin banyak dan prestisius barang yang dibeli seseorang, semakin ia akan dihargai. Dalam budaya kita, konsumerisme akan mengakibatkan orang terjebak dalam kehidupan yang tidak seimbang atau disebut dengan “lebih besar pasak daripada tiang”.

Kesimpulan
      Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan menggunakan manfaat dari barang atau jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Atau konsumsi yaitu tindakan manusia memakai dan menikmati guna barang ataupun jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan dari konsumsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara langsung. Perubahan budaya konsumen ini merupakan suatu konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan yang dipicu oleh lingkungan perkotaan yang menyediakan sarana perbelanjaan kelas modern. Hal ini tentunya akan mendorong orang untuk pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dan perilaku mereka cenderung membeli barang-barang sesuai keinginan.
      Oleh karena itu budaya konsumen masyarakat perkotaan tidak saja sebagai produk perilaku ekonomi, tetapi juga sebagai produk budaya yang lahir dari suatu tatanan sistematis sebagai dampak dari neoliberalisme. Dalam kebudayaan konsumen, konsumsi tidak lagi bersifat fungsional, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kini lebih dari itu, konsumsi dalam pengertian yang sesungguhnya mengekspresikan posisi dan identitas seseorang di dunia. Konsumsi pada masyarakat ini, bukan lagi sesuatu mendasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol
     
     














DAFTAR PUSTAKA
Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan.( Majalah Empirika, Volume XI, No. 01.2007). Diakses pada 29 desember 2016. Pukul 12.04 WIB.
Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, Dan Isu Menuju Study Budaya Kapitalisme Lanjut. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rifdo. 2012. Teori Konsumsi.(https://rifdoisme.wordpress.com/2012/09/19/teori-konsumsi/). Diakses pada 29 desember 2016. Pukul 11.14 WIB.




No comments:

Post a Comment